RASA BERONTAK
Definisi Berontak
Menurut kamus besar bahasa
Indonesia, berontak berarti meronta-ronta hendak melepaskan diri atau melawan, tidak mau menurut perintah. Dengan kata lain berontak adalah keadaan dimana kita
merasa tertekan karena suatu hal aturan yang sangat memaksa sehingga menjadikan
kita tidak bebas untuk bergerak. Berontak itu bermakna negatif, jadi jelaslah
itu perbuatan buruk. Tapi kalau anda mengubah makna 'berontak' untuk
menunjukkan bahwa anda adalah individu yang mandiri, maka silahkan. Tentu saja
masih harus berpedoman pada norma yang ada, dan tidak boleh semaunya dalam
berbuat. Tetap menjaga hati [perasaan] orang lain. Jika
anda mampu menunjukkan sikap yang mandiri dan tidak menyusahkan orang lain, paling tidak orang lain juga akan memberikan ruang lebih pada anda untuk berekspresi
sesuai kehendak dalam batas yg positif.
Sebagaimana kita ketahui masa yang
paling kalut dalam sejarah hidup seorang manusia adalah ketika dia menjadi
remaja. Kegoncangan-kegoncangan dalam dirinya sangat terasa. Padahal prospek
yang bakal terjadi dalam diri seorang remaja pada masa dewasanya sangat
ditentukan oleh masa remajanya. Masa kalut itu biasa orang mengumpamakannya
dengan sebuah bahtera yang sedang dilanda angin topan.
Remaja merupakan suatu masa peralihan dari masa anak-anak menuju
masa dewasa. Adapun ciri-ciri dari masa remaja antara lain :
-
pertumbuhan fisik
yang cepat
-
emosi tidak
stabil
-
perkembangan seksual
sangat menonjol
-
cara berpikirnya
kausalitas (hukum sebab akibat)
-
terikat pada
kelompoknya
Jika tugas perkembangan sebelum usia remaja
dipenuhi, maka perkembangan fisiknya akan dibarengi dengan kematangan emosi dan
tanggung jawabnya/berpikir kausalitas (tamyiz) sebagai seorang yg dewasa. Ia
juga akan bisa memilih teman dekat yg baik baginya dan membatasi pergaulan
tanpa bersikap masa bodoh dengan teman yg kurang baik bagi diri dan agamanya.
Hal ini juga dapat terlihat dari interaksi sosialnya yang baik dengan
lingkungannya
Pada saat usia remaja, tugas perkembangannya
adalah sebagai berikut:
1
Mampu menerima
keadaan fisiknya
2
Mencapai
kemandirian secara emosi
3
Memperluas
hubungan dengan tingkah laku sosial yang lebih dewasa
4
Mengetahui seta
menerima kelebihan maupun kekurangan yang dimiliki
5
Membentuk nilai
moral sebagai dasar untuk berperilaku
Karena pada masa ini remaja sedang dalam
pencarian jati diri/identitas (role diffusion) maka, peran orang
tua/ustad/guru/teman dekat sebagai teman diskusi dalam hal ini akan sangat
membantu dia menemukan tujuan dan nilai2 hidup yang harus dia anut. Sehingga
tiap gerak langkahnya, sang remaja akan selalu dilandasi dengan sifat tanggung
jawab.
Di sinilah letak pelik-liku hidup
seorang remaja. Sering dari sinar mata mereka menunjukkan, bahwa mereka sedang
merenung. Kesenangan mereka adalah menyendiri bersama-sama dengan pikiran
mereka yang sedang menerawang. Dalam lamunan timbul keharuan dan ketakutan
menantang perasaannya.
Mengertilah kita mengapa pada masa
yang demikian timbul tingkah laku mereka yang kadang absurd, ekstrim, aneh, dan
memuakkan orang tua teruma yang tidak mengenal jiwa remaja. Tingkah laku yang
aneh itu adalah usaha pemenuhan kekosongan jiwa mereka. Sebagian dari mereka
akan lari ke ganja, narkoba, atau membuat gang-gang yang menimbulkan kekacauan
di jalan umum. Ini suatu gejala yang tidak baik yang perlu mendapat perhatian
serius dari orang tua atau pendidik.
Mengapa Remaja Cenderung
Berontak?
Sebanyak 29% penduduk dunia terdiri dari
remaja, dan 80% diantaranya tinggal di negara berkembang. Berdasarkan sensus di
Indonesia pada tahun 2005, jumlah remaja yang berusia 10 – 19 tahun adalah
sekitar 41 juta orang (20% dari jumlah total penduduk Indonesia dalam tahun
yang sama). Dalam era globalisasi ini banyak tantangan yang harus dihadapi oleh
para remaja yang tinggal di kota besar di Indonesia, tidak terkecuali yang
tinggal di daerah perdesaan seperti, tuntutan sekolah yang bertambah tinggi,
akses komunikasi/internet yang bebas, dan juga siaran media baik tulis maupun
elektronik. Mereka dituntut untuk menghadapi berbagai kondisi tersebut baik
yang positif maupun yang negatif, baik yang datang dari dalam diri mereka
sendiri maupun yang datang dari lingkungannya. Dengan demikian, remaja harus
mempunyai berbagai keterampilan dalam hidup mereka sehingga mereka dapat sukses
melalui fase ini dengan optimal.
Masa
remaja merupakan masa yang penuh gejolak. Pada masa ini mood (suasana hati)
bisa berubah dengan sangat cepat. Perubahan mood (swing) yang drastis pada para
remaja ini seringkali dikarenakan beban pekerjaan rumah, pekerjaan sekolah,
atau kegiatan sehari-hari di rumah. Meski mood remaja yang mudah berubah-ubah
dengan cepat, hal tersebut belum tentu merupakan gejala atau masalah
psikologis. Dalam hal kesadaran diri, pada masa remaja para remaja mengalami
perubahan yang dramatis dalam kesadaran diri mereka (self-awareness). Mereka
sangat rentan terhadap pendapat orang lain karena mereka menganggap bahwa orang
lain sangat mengagumi atau selalu mengkritik mereka seperti mereka mengagumi
atau mengkritik diri mereka sendiri. Anggapan itu membuat remaja sangat
memperhatikan diri mereka dan citra yang direfleksikan (self-image). Remaja
cenderung untuk menganggap diri mereka sangat unik dan bahkan percaya keunikan
mereka akan berakhir dengan kesuksesan dan ketenaran.
Remaja
yang diberi kesempatan untuk mempertanggungjawabkan perbuatan mereka, akan
tumbuh menjadi orang dewasa yang lebih berhati-hati, lebih percaya-diri, dan
mampu bertanggung jawab. Rasa percaya diri dan rasa tanggung jawab inilah yang
sangat dibutuhkan sebagai dasar pembentukan jati diri positif pada remaja.
Kelak, ia akan tumbuh dengan penilaian positif pada diri sendiri dan rasa
hormat pada orang lain dan lingkungan. Bimbingan orang yang lebih tua sangat
dibutuhkan oleh remaja sebagai acuan bagaimana menghadapi masalah itu sebagai
“seseorang yang baru”; berbagai nasihat dan berbagai cara akan dicari untuk
dicobanya. Remaja akan membayangkan apa yang akan dilakukan oleh para
“idola”nya untuk menyelesaikan masalah seperti itu. Pemilihan idola ini juga
akan menjadi sangat penting bagi remaja. Dari beberapa dimensi perubahan yang
terjadi pada remaja seperti yang telah dijelaskan diatas maka terdapat
kemungkinan – kemungkinan perilaku yang bisa terjadi pada masa ini. Diantaranya
adalah perilaku yang mengundang risiko dan berdampak negatif pada remaja.
Perilaku yang mengundang risiko pada masa remaja misalnya seperti penggunaan
alkohol, tembakau dan zat lainnya; aktivitas sosial yang berganti – ganti pasangan
dan perilaku menentang bahaya seperti balapan motor, naik gunung dll. Alasan
perilaku yang mengundang risiko ada bermacam – macam dan berhubungan dengan
dinamika fobia balik (conterphobic dynamic), rasa takut dianggap hal yang
dinilai rendah, perlu untuk menegaskan identitas maskulin dan dinamika kelompok
seperti tekanan teman sebaya.
Masa
remaja merupakan masa yang kritis dalam siklus perkembangan seseorang. Di masa
ini banyak terjadi perubahan dalam diri seseorang sebagai persiapan memasuki
masa dewasa. Remaja tidak dapat dikatakan lagi sebagai anak kecil, namun ia
juga belum dapat dikatakan sebagai orang dewasa. Hal ini terjadi oleh karena di
masa ini penuh dengan gejolak perubahan baik perubahan biologik, psikologik,
maupun perubahan sosial. Dalam keadaan ‘serba tanggung’ ini seringkali memicu
terjadinya konflik antara remaja dengan dirinya sendiri (konflik internal),
maupun konflik lingkungan sekitarnya (konflik eksternal). Apabila konflik ini
tidak diselesaikan dengan baik maka akan memberikan dampak negatif terhadap
perkembangan remaja tersebut di masa mendatang, terutama terhadap pematangan
karakternya dan tidak jarang memicu terjadinya gangguan mental.
Untuk
mencegah terjadinya dampak negatif tersebut, perlu dilakukan pengenalan awal
(deteksi dini) perubahan yang terjadi dan karateristik remaja dengan
mengidentifikasi beberapa faktor risiko dan faktor protektif sehingga remaja
dapat melalui periode ini dengan optimal dan ia mampu menjadi individu dewasa
yang matang baik fisik maupun psikisnya.
Perkembangan
psikososial pada remaja
Masa
remaja adalah masa yang ditandai oleh adanya perkembangan yang pesat dari aspek
biologik, psikologik, dan juga sosialnya. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya
berbagai disharmonisasi yang membutuhkan penyeimbangan sehingga remaja dapat
mencapai taraf perkembangan psikososial yang matang dan adekuat sesuai dengan
tingkat usianya. Kondisi ini sangat bervariasi antar remaja dan menunjukkan
perbedaan yang bersifat individual, sehingga setiap remaja diharapkan mampu menyesuaikan
diri mereka dengan tuntutan lingkungannya.
Ada tiga faktor
yang berperan dalam hal tersebut, yaitu;
- Faktor
individu yaitu kematangan otak dan konstitusi genetik (antara lain
temperamen).
- Faktor pola
asuh orangtua di masa anak dan pra-remaja.
- Faktor
lingkungan yaitu kehidupan keluarga, budaya lokal, dan budaya asing.
Setiap remaja sebenarnya memiliki potensi
untuk dapat mencapai kematangan kepribadian yang memungkinkan mereka dapat
menghadapi tantangan hidup secara wajar di dalam lingkungannya, namun potensi
ini tentunya tidak akan berkembang dengan optimal jika tidak ditunjang oleh
faktor fisik dan faktor lingkungan yang memadai.
Dengan demikian akan selalu ada faktor risiko
dan faktor protektif yang berkaitan dengan pembentukan kepribadian seorang
remaja, yaitu;
1.
Faktor risiko
Dapat
bersifat individual, konstektual (pengaruh lingkungan), atau yang dihasilkan
melalui interaksi antara individu dengan lingkungannya. Faktor risiko yang
disertai dengan kerentanan psikososial, dan resilience pada seorang remaja akan
memicu terjadinya gangguan emosi dan perilaku yang khas pada seorang remaja.1
Faktor risiko
dapat berupa;
a. Faktor
individui.
- Faktor
genetik/konstitutional; berbagai gangguan mental mempunyai latar belakang
genetik yang cukup nyata, seperti gangguan tingkah laku, gangguan
kepribadian, dan gangguan psikologik lainnya.
- Kurangnya
kemampuan keterampilan sosial seperti, menghadapi rasa takut, rendah diri,
dan rasa tertekan. Adanya kepercayaan bahwa perilaku kekerasan adalah
perilaku yang dapat diterima, dan disertai dengan ketidakmampuan menangani
rasa marah. Kondisi ini cenderung memicu timbulnya perilaku risiko tinggi
bagi remaja.
b. Faktor
psikososiali.
- Keluarga
Ketidakharmonisan antara orangtua, orangtua dengan y ypenyalahgunaan zat, gangguan mental pada orangtua, ketidakserasian temperamen antara orangtua dan remaja, serta pola asuh orangtua yang tidak empatetik dan cenderung dominasi, semua kondisi di atas sering memicu timbulnya perilaku agresif dan temperamen yang sulit pada anak dan remaja. - Sekolah
Bullying merupakan salah satu pengaruh yang kuat dari kelompok teman sebaya, serta berdampak terjadinya kegagalan akademik. Kondisi ini merupakan faktor risiko yang cukup serius bagi remaja. Bullying atau sering disebut sebagai peer victimization adalah bentuk perilaku pemaksaan atau usaha menyakiti secara psikologik maupun fisik terhadap seseorang/sekelompok orang yang lebih lemah, oleh seseorang/sekelompok orang yang lebih kuat. Bullying dapat bersifat (a) fisik seperti, mencubit, memukul, memalak, atau menampar; (b) psikologik seperti, mengintimidasi, mengabaikan, dan diskriminasi; (c) verbal seperti, memaki, mengejek, dan memfitnah. Semua kondisi ini merupakan tekanan dan pengalaman traumatis bagi remaja dan seringkali mempresipitasikan terjadinya gangguan mental bagi remaja. Hazing adalah kegiatan yang biasanya dilakukan oleh anggota kelompok yang sudah ’senior’ yang berusaha mengintimidasi kelompok yang lebih ’junior’ untuk melakukan berbagai perbuatan yang memalukan, bahkan tidak jarang kelompok ’senior’ ini menyiksa dan melecehkan sehingga menimbulkan perasaan tidak nyaman baik secara fisik maupun psikik. Perbuatan ini seringkali dilakukan sebagai prasyarat untuk diterima dalam suatu kelompok tertentu. Ritual hazing ini sudah lama dilakukan sebagai tradisi dari tahun ke tahun sebagai proses inisiasi penerimaan seseorang dalam suatu kelompok dan biasanya hanya berlangsung singkat, namun tidak jarang terjadi perpanjangan sehingga menimbulkan tekanan bagi remaja yang mengalaminya.
Bullying dan
hazing merupakan suatu tekanan yang cukup serius bagi remaja dan berdampak
negatif bagi perkembangan remaja. Prevalensi kedua kondisi di atas diperkirakan
sekitar 10 - 26%. Dalam penelitian tersebut dijumpai bahwa siswa yang mengalami
bullying menunjukkan perilaku yang tidak percaya diri, sulit bergaul, merasa
takut datang ke sekolah sehingga angka absebsi menjadi tinggi, dan kesulitan
dalam berkonsetransi di kelas sehingga mengakibatkan penurunan prestasi
belajar; tidak jarang mereka yang mengalami bullying maupun hazing yang terus
menerus menjadi depresi dan melakukan tindak bunuh diri.
- Situasi dan
kehidupan Telah terbukti bahwa terdapat hubungan yang erat antara
timbulnya gangguan mental dengan berbagai kondisi kehidupan dan sosial
masyarakat tertentu seperti, kemiskinan, pengangguran, perceraian
orangtua, dan adanya penyakit kronik pada remaja.
2. Faktor protektif
Faktor
protektif merupakan faktor yang memberikan penjelasan bahwa tidak semua remaja
yang mempunyai faktor risiko akan mengalami masalah perilaku atau emosi, atau
mengalami gangguan jiwa tertentu. Rutter (1985) menjelaskan bahwa faktor
protektif merupakan faktor yang memodifikasi, merubah, atau menjadikan respons
seseorang menjadi lebih kuat menghadapi berbagai macam tantangan yang datang
dari lingkungannya. Faktor protektif ini akan berinteraksi dengan faktor risiko
dengan hasil akhir berupa terjadi atau tidaknya masalah perilaku atau emosi,
atau gangguan mental di kemudian hari.
Rae G N dkk.
mengemukakan berbagai faktor protektif, antara lain adalah:
- Karakter/watak
personal yang positif.
- Lingkungan
keluarga yang suportif.
- Lingkungan
sosial yang berfungsi sebagai sistem pendukung untuk memperkuat upaya
penyesuaian diri remaja.
- Keterampilan
sosial yang baike. Tingkat intelektual yang baik.
Masalah
aktual kesehatan mental remaja saat ini
1.
Perubahan psikoseksual
Produksi
hormon testosteron dan hormon estrogen mempengaruhi fungsi otak, emosi,
dorongan seks dan perilaku remaja. Selain timbulnya dorongan seksual yang
merupakan manifestasi langsung dari pengaruh hormon tersebut, dapat juga
terjadi modifikasi dari dorongan seksual itu dan menjelma dalam bentuk pemujaan
terhadap tokoh-tokoh olah raga, musik, penyanyi, bintang film, pahlawan, dan
lainnya.
Remaja sangat sensitif terhadap pandangan
teman sebaya sehingga ia seringkali membandingkan dirinya dengan remaja lain
yang sebaya, bila dirinya secara jasmani berbeda dengan teman sebayanya maka
hal ini dapat memicu terjadinya perasaan malu atau rendah diri.
2.
Pengaruh teman sebaya
Kelompok
teman sebaya mempunyai peran dan pengaruh yang besar terhadap kehidupan seorang
remaja. Interaksi sosial dan afiliasi teman sebaya mempunyai peranan yang besar
dalam mendorong terbentuknya berbagai keterampilan sosial. Bagi remaja, rumah
adalah landasan dasar sedangkan ‘dunianya’ adalah sekolah. Pada fase
perkembangan remaja, anak tidak saja mengagumi orangtuanya, tetapi juga
mengagumi figur-figur di luar lingkungan rumah, seperti teman sebaya, guru,
orangtua temanya, olahragawan, dan lainnya.
Dengan demikian, bagi remaja hubungan yang
terpenting bagi diri mereka selain orangtua adalah teman-teman sebaya dan
seminatnya. Remaja mencoba untuk bersikap independent dari keluarganya akibat
peran teman sebayanya. Di lain pihak, pengaruh dan interaksi teman sebaya juga
dapat memicu timbulnya perilaku antisosial, seperti mencuri, melanggar hak
orang lain, serta membolos, dan lainnya.
3.
Perilaku berisiko tinggi
Remaja
kerap berhubungan berbagai perilaku berisiko tinggi sebagai bentuk dari
identitas diri. 80% dari remaja berusia 11-15 tahun dikatakan pernah
menunjukkan perilaku berisiko tinggi minimal satu kali dalam periode tersebut,
seperti berkelakuan buruk di sekolah, penyalahgunaan zat, serta perilaku
antisosial (mencuri, berkelahi, atau bolos) dan 50% remaja tersebut juga
menunjukkan adanya perilaku berisiko tinggi lainnya seperti mengemudi dalam
keadaan mabuk, melakukan hubungan seksual tanpa kontrasepsi, dan perilaku
criminal yang bersifat minor. Dalam suatu penelitian menunjukkan bahwa 50%
remaja pernah menggunakan marijuana, 65% remaja merokok, dan 82% pernah mencoba
menggunakan alkohol.
Dengan melakukan perbuatan tersebut, mereka
mengatakan bahwa mereka merasa lebih dapat diterima, menjadi pusat perhatian
oleh kelompok sebayanya, dan mengatakan bahwa melakukan perilaku berisiko
tinggi merupakan kondisi yang mendatangkan rasa kenikmatan (‘fun’). Walaupun
demikian, sebagian remaja juga menyatakan bahwa melakukan perbuatan yang
berisiko sebenarnya merupakan cara mereka untuk mengurangi perasaan tidak
nyaman dalam diri mereka atau mengurangi rasa ketegangan. Dalam beberapa kasus
perilaku berisiko tinggi ini berlanjut hingga individu mencapai usia dewasa.
4.
Kegagalan pembentukan identitas diri
Menurut
J. Piaget, awal masa remaja terjadi transformasi kognitif yang besar menuju
cara berpikir yang lebih abstrak, konseptual, dan berorientasi ke masa depan
(future oriented). Remaja mulai menunjukkan minat dan kemampuan di bidang
tulisan, seni, musik, olah raga, dan keagamaan. E. Erikson dalam teori perkembangan
psikososialnya menyatakan bahwa tugas utama di masa remaja adalah membentuk
identitas diri yang mantap yang didefinisikan sebagai kesadaran akan diri
sendiri serta tujuan hidup yang lebih terarah. Mereka mulai belajar dan
menyerap semua masalah yang ada dalam lingkungannya dan mulai menentukan
pilihan yang terbaik untuk mereka seperti teman, minat, atau pun sekolah. Di
lain pihak, kondisi ini justru seringkali memicu perseteruan dengan orangtua
atau lingkungan yang tidak mengerti makna perkembangan di masa remaja dan tetap
merasa bahwa mereka belum mampu serta memperlakukan mereka seperti anak yang
lebih kecil.
Secara perlahan, remaja mulai mencampurkan
nilai-nilai moral yang beragam yang berasal dari berbagai sumber ke dalam nilai
moral yang mereka anut, dengan demikian terbentuklah superego yang khas yang
merupakan ciri khas bagi remaja tersebut sehingga terjawab pertanyaan ’siapakah
aku?’ dan ’kemanakah tujuan hidup saya?’
Bila terjadi kegagalan atau gangguan proses
identitas diri ini maka terbentuk kondisi kebingungan peran (role confusion).
Role confusion ini sering dinyatakan dalam bentuk negativisme seperti,
menentang dan perasaan tidak percaya akan kemampuan diri sendiri. Negativisme
ini merupakan suatu cara untuk mengekspresikan kemarahan akibat perasaan diri
yang tidak adekuat akibat dari gangguan dalam proses pembentukan identitas diri
di masa remaja ini.
5.
Gangguan perkembangan moral
Moralitas
adalah suatu konformitas terhadap standar, hak, dan kewajiban yang diterima
secara bersama, apabila ads dua standar yang secara sosial diterima bersama
tetapi saling konflik maka umumnya remaja mengambil keputusan untuk memilih apa
yang sesuai berdasarkan hati nuraninya. Dalam pembentukan moralitasnya, remaja
mengambil nilai etika dari orangtua dan agama dalam upaya mengendalikan
perilakunya. Selain itu, mereka juga mengambil nilai apa yang terbaik bagi
masyarakat pada umumnya. Dengan demikian, penting bagi orangtua untuk memberi
suri teladan yang baik dan bukan hanya menuntut remaja berperilaku baik, tetapi
orangtua sendiri tidak berbuat demikian.
Secara moral, seseorang wajib menuruti standar
moral yang ada namun sebatas bila hal itu tidak mebahayakan kesehatan, bersifat
manusiawi, serta berlandaskan hak asasi manusia. Dengan berakhirnya masa remaja
dan memasuki usia dewasa, terbentuklah suatu konsep moralitas yang mantap dalam
diri remaja. Jika pembentukan ini terganggu maka remaja dapat menunjukkan
berbagai pola perilaku antisosial dan perilaku menentang yang tentunya
mengganggu interaksi remaja tersebut dengan lingkungannya, serta dapat memicu
berbagai konflik.
6.
Stres di masa remaja
Banyak
hal dan kondisi yang dapat menimbulkan tekanan (stres) dalam masa remaja.
Mereka berhadapkan dengan berbagai perubahan yang sedang terjadi dalam dirinya
maupun target perkembangan yang harus dicapai sesuai dengan usianya. Di pihak lain,
mereka juga berhadapan dengan berbagai tantangan yang berkaitan dengan
pubertas, perubahan peran sosial, dan lingkungan dalam usaha untuk mencapai
kemandirian.
Tantangan ini tentunya berpotensi untuk
menimbulkan masalah perilaku dan memicu timbulnya tekanan yang nyata dalam
kehidupan remaja jika mereka tidak mampu mengatasi kondisi tantangan tersebut.
Pencegahan
Salah
satu usaha pencegahan agar permasalahan remaja tidak menjadi gangguan atau penyimpangan
pada remaja adalah usaha kita untuk dapat melakukan pengenalan awal atau
deteksi dini. Beberapa instrumen skreening sudah banyak dikembangkan untuk
melakukan deteksi dini terhadap penyimpangan masalah psikososial remaja
diantaranya adalah The Child Behavior Checklist (CBCL), Pediatric Symptom
Checklist (PSC), the Strengths and Difficulties Questionnaire (SDQ).
Pediatric symptom checklist adalah alat untuk
mendeteksi secara dini kelainan psikososial untuk mengenali adanya masalah emosional
dan perilaku, didalamnya berisi beberapa pertanyaan tentang kondisi-kondisi
perilaku anak yang dikelompokkan dalam 3 masalah yaitu atensi, internalisasi,
dan eksternalisasi. Terdapat 2 versi, yaitu PSC-17 yang diisi oleh orang tua
untuk anak usia 4-16 tahun dan PSC-35 yang diisi sendiri oleh remaja
(Youth-PSC) untuk remaja usia > 11 tahun.
Remaja
cenderung energetik, selalu ingin tahu, emosi yang tidak stabil, cenderung
berontak dan mengukur segalanya dengan ukurannya sendiri dengan cara berfikir
yang tidak logis. Kadang remaja melakukan hal-hal diluar norma untuk
mendapatkan pengakuan tentang keberadaan dirinya dimasyarakat, salah satunya
adalah melakukan tindakan penyalahgunaan obat/zat. Ditinjau dari aspek sosial,
masalah ini bukan hanya berakibat negatif terhadap diri penyandang masalah
saja, melainkan membawa dampak juga terhadap keluarga, lingkungan sosial,
lingkungan masyarakatnya, bahkan dapat mengancam dan membahayakan masa depan
bangsa dan negara.
Cara Mencegah Rasa Berontak
Tidak
ada metode pencegahan yang sempurna, yang dapat diterapkan untuk seluruh populasi.
Populasi yang berbeda memerlukan tindakan pencegahan yang berbeda pula.
Pembagian metode pencegahan adalah sebagai berikut:
- Pencegahan
universal, ditujukan untuk populasi umum baik untuk keluarga maupun anak.
- Pencegahan
selektif, ditujukan bagi keluarga dan anak dengan risiko tinggi. Risiko
tersebut dapat berupa risiko demografis, lingkungan psiko-sosial dan
biologis.
- Pencegahan
terindikasi, ditujukan terhadap kasus yang mengalami berbagai faktor
risiko dalam suatu keluarga yang disfungsional.
Semua upaya pencegahan pada umumnya ditujukan
untuk memperbaiki mengurangi faktor risiko dan memperkuat faktor protektif dari
individu, keluarga
dan lingkungannya. Faktor risiko mempermudah seseorang untuk menjadi pengguna sedangkan faktor protektif membuat seseorang cenderung tidak menggunakan obat. Tugas dari seorang dokter anak adalah mengawasi terhadap faktor risiko tersebut, mengatasinya atau merujuknya kepada ahli lain. Dengan menggunakan alat Skrining penyalahgunaan zat pada remaja dalam bentuk kuesener seperti CRAFFT screening test yang cukup sederhana dan relevan dapat untuk mengenali risiko terjadinya penyalahgunaan zat/obat.
dan lingkungannya. Faktor risiko mempermudah seseorang untuk menjadi pengguna sedangkan faktor protektif membuat seseorang cenderung tidak menggunakan obat. Tugas dari seorang dokter anak adalah mengawasi terhadap faktor risiko tersebut, mengatasinya atau merujuknya kepada ahli lain. Dengan menggunakan alat Skrining penyalahgunaan zat pada remaja dalam bentuk kuesener seperti CRAFFT screening test yang cukup sederhana dan relevan dapat untuk mengenali risiko terjadinya penyalahgunaan zat/obat.
Peran
Orang Tua Dan Lingkungan
Perilaku berisiko tinggi yang dilakukan remaja
perlu dicermati dengan bijaksana karena di satu pihak dapat merupakan perilaku
sesaat tapi juga dapat pula merupakan pola perilaku yan terus menerus yang
dapat membahayakan diri, orang lain maupun lingkungan. Untuk itu diperlukan suatu
cara pendekatan yang komprehensif dari semua pihak baik orang tua, guru maupun
masyarakat sekitar agar memahami perkembangan jiwa remaja dengan harapan
masalah remaja dapat tertanggulangi.
Selain ketiga masalah psikososial yang sering
terjadi pada remaja seperti yang disebutkan dan dibahas diatas terdapat pula
masalah masalah lain pada remaja seperti tawuran, kenakalan remaja, kecemasan,
menarik diri, kesulitan belajar, depresi dll. Semua masalah tersebut perlu
mendapat perhatian dari berbagai pihak mengingat remaja merupakan calon penerus
generasi bangsa. Ditangan remajalah masa depan bangsa ini digantungkan.
Terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan
dalam upaya untuk mencegah semakin meningkatnya masalah yang terjadi pada remaja,
yaitu antara lain :
Peran
Orangtua
- Menanamkan
pola asuh yang baik pada anak sejak prenatal dan balita
- Membekali
anak dengan dasar moral dan agama
- Mengerti
komunikasi yang baik dan efektif antara orangtua – anak
- Menjalin
kerjasama yang baik dengan guru
- Menjadi
tokoh panutan dalam perilaku maupun menjaga lingkungan yang sehat
- Menerapkan
disiplin yang konsisten pada anak Hindarkan anak dari NAPZA
Peran Sebagai Pendidik
Orang
tua hendaknya menyadari banyak tentang perubahan fisik maupun psikis yang akan
dialami remaja. Untuk itu orang tua wajib memberikan bimbingan dan arahan
kepada anak. Nilai-nilai agama yang ditanamkan orang tua kepada anaknya sejak
dini merupakan bekal dan benteng mereka untuk menghadapi perubahan-perubahan
yang terjadi. Agar kelak remaja dapat membentuk rencana hidup mandiri, disiplin
dan bertanggung jawab, orang tua perlu menanamkan arti penting dari pendidikan
dan ilmu pengetahuan yang mereka dapatkan di sekolah, di luar sekolah serta di
dalam keluarga.
Peran Sebagai Pendorong
Menghadapi
masa peralihan menuju dewasa, remaja sering membutuhkan dorongan dari orang tua.
Terutama saat mengalami kegagalan yang mampu menyurutkan semangat mereka. Pada
saat itu, orang tua perlu menanamkan keberanian dan rasa percaya diri remaja
dalam menghadapi masalah, serta tidak gampang menyerah dari kesulitan.
Peran
Sebagai Panutan
Remaja
memerlukan model panutan di lingkungannya. Orang tua perlu memberikan contoh
dan teladan, baik dalam menjalankan nilai-nilai agama maupun norma yang berlaku
di masyarakat. Peran orang tua yang baik akan mempengaruhi kepribadian remaja.
Peran
Sebagai Pengawas
Menjadi
kewajiban bagi orang tua untuk melihat dan mengawasi sikap dan perilaku remaja
agar tidak terjerumus ke dalam pergaulan yang membawanya ke dalam kenakalan
remaja dan tindakan yang merugikan diri sendiri. Namun demikian hendaknya
dilakukan dengan bersahabat dan lemah lembut. Sikap penuh curiga, justru akan
menciptakan jarak antara anak dan orang tua, serta kehilangan kesempatan untuk
melakukan dialog terbuka dengan anak dan remaja.
Peran
Sebagai Teman
Menghadapi
remaja yang telah memasuki masa akil balig, orang tua perlu lebih sabar dan mau
mengerti tentang perubahan pada remaja. Perlu menciptakan dialog yang hangat
dan akrab, jauh dari ketegangan atau ucapan yang disertai cercaan. Hanya bila
remaja merasa aman dan terlindung, orang tua dapat menjadi sumber informasi,
serta teman yang dapat diajak bicara atau bertukar pendapat tentang kesulitan
atau masalah mereka.
Peran
Guru
- Bersahabat
dengan siswa
- Menciptakan
kondisi sekolah yang nyaman
- Memberikan
keleluasaan siswa untuk mengekspresikan diri pada kegiatan ekstrakurikuler
- Menyediakan
sarana dan prasarana bermain dan olahraga
- Meningkatkan
peran dan pemberdayaan guru BP
- Meningkatkan
disiplin sekolah dan sangsi yang tegas
- Meningkatkan
kerjasama dengan orangtua, sesama guru dan sekolah lain
- Meningkatkan
keamanan terpadu sekolah bekerjasama dengan Polsek setempa
- Mengadakan
kompetisi sehat, seni budaya dan olahraga antar sekolah
- Menciptakan
kondisi sekolah yang memungkinkan anak berkembang secara sehat adalah hal
fisik, mental, spiritual dan sosial
- Meningkatkan
deteksi dini penyalahgunaan NAPZA
Peran
Pemerintah dan masyarakat
- Menghidupkan
kembali kurikulum budi pekerti
- Menyediakan
sarana/prasarana yang dapat menampung agresifitas anak melalui olahraga
dan bermain
- Menegakkan
hukum, sangsi dan disiplin yang tegas
- Memberikan
keteladanan
- Menanggulangi
NAPZA, dengan menerapkan peraturan dan hukumnya secara tegas
- Lokasi
sekolah dijauhkan dari pusat perbelanjaan dan pusat hiburan
Saat
ini masih sedikit klinik khusus kesehatan remaja, sehingga para remaja yang
memiliki masalah psikososial diperiksakan kepada dokter ahli jiwa psiakater
terdekat. Peran Puskesmas yang kini sudah mengakar di masyarakat bisa
dikembangkan untuk mempunyai divisi khusus yang menangani permasalahan remaja.
Pembentukan Klinik Kesehatan Remaja agaknya
bisa menjadi solusi mengatasi makin tingginya remaja yang terkena penyakit
infeksi seksual menular dan penyakit lain akibat penyalahgunaan narkoba.
Melalui klinik khusus tersebut, remaja bisa mengungkapkan persoalannya tanpa
takut‑-takut guna dicarikan solusi atas masalahnya tersebut.
Daftar Pustaka
Annonymous. 2009. Mengapa Remaja
Cenderung Melawan. http://www.balipost.co.id/mediadetail.php?module=detailberitaminggu&kid=13&id=26620.
diakses tanggal 23 Maret 2012.
Annonymous. 2010. Masalah kesehatan
mental emosional remaja. http://www.idai.or.id/remaja.asp. diakses
tanggal 21 Maret 2012.
Hebi, Frans W. 2011. Remaja dan
Dunianya. http://www.maxfm-waingapu.net/berita/269--remaja-dan-dunianya.html.
diakses pada tanggal 21 Maret 2012.
Lite. 2011. Berontak Terhadap Orang Tua.
http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20110114082250AAB0e56.
diakses tanggal 21 Maret 2012.
Nugroho, Erwin. 2010. Tugas Perkembangan
Remaja. http://rumahbungamatahari.wordpress.com/biro-psikologi-anak-dan-keluarga/pernak-pernik-remaja/tugas-perkembangan-remaja/
diakses tanggal 21 Maret 2012.
Wiguna T. 2009. Masalah Kesehatan Mental
Remaja di Era Globalisasi. Sinas Remaja II. Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar