perpustakaan online

Selasa, 29 Mei 2012


KEWARGANEGARAAN
TUGAS MAKALAH
PERTUMBUHAN WAWASAN KEBANGSAAN



Di susun oleh:
Furqon 105080400111032


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNEVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2011


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar belakang
Dengan mulainya abad ke-20, mulai pulalah suatu masa baru bagi rakyat Indonesia. Dalam masa baru itu  pemimpin-pemimpin rakyat memperjuangkan nasib bangsanya yang selam berabad-abad telah dilakukan oleh nenek moyang kita, dengan melakukan perlawanan bersenjata. Kini perjuangan merupakan suatu perjuangan politik dengan mempergunakan cara-cara dan sarana-sarana modern. Gejala-gejala yang dikenal sebagai Kebangkitan Nasional, tidak hanya disebabkan oleh faktor-faktor dari dalam negeri antara lain adalah pelaksanaan politik etis yang dijalankan oleh pemerintah Hindia Belanda. Faktor dari luar negeri antara lain adalah kemenangan bangsa Jepang atas bangsa Rusia dalam perangnya pada tahun-tahun pertama abad ke-20. Suatu kemenangan yang dianggap sebagai kemenangan orang Asia (kulit berwarna) terhadap orang Eropa (kulit putih). (Nugroho Notosusanto; 1991:35).
Karena pengaruh gagasan-gagasan modern, anggota elite nasional baru, menyadari bahwa perjuangan unuk memajukan bangsa Indonesia harus dilakukan dengan mempergunakan organisasi modern. Baik pendidikan, perjuangan politik, perjuangan ekonomi, maupun perjuangan sosial budaya, memerlukan organisasi. (Nugroho Notosusanto;1991:35).
Wawasan Kebangsaan adalah cara pandang atau pemahaman tentang konsep dan aktualisasi nilai-nilai dalam hidup dan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara. Wawasan kebangsaan memiliki dimensi yang sangat luas dan kompleks sesuai dengan luas dan kompleksnya dimensi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Wawasan Kebangsaan diperlukan karena perlu adanya konsep dan aktualisasi manajemen kehidupan negara-bangsa yang bermartabat dan berkeadaban.
Wawasan kebangsaan Indonesia mengalami pertumbuhan dan perkembangan pada masa lalu seirama dengan dinamika pertumbuhan dan perkembangan pergerakan kebangsaan Indonesia. Oleh karena itu, sifat dan corak perkembangannya tampil sesuai dengan sifat dan corak organisasi pergerakan yang mewakilinya. Dari pertumbuhan dan perkembangan organisasi pergerakan kebangsaan Indonesia seperti Boedi Uetomo, Sarekat Islam, Indische Partji, Perhimpunan Indonesia, dan lain-lain, tampak bahwa proses pendewasaan konsep nasionalisme kultural, berkembang menjadi sosio ekonomis, dan memuncak menjadi nasionalisme politik yang merupakan aspek multidimensional. (Sudiyo;2004:43).
Sebuah fenomena sejarah yang merupakan momentum sangat penting dalam proses penguatan konsep wawasan kebangsaan Indonesia terjadi pada tanggal 28 Oktober 1928. Dalam itulah modal yang sangat berharga bagi terbentuknya sebuah “Nation-State” telah disepakati. Adanya kehendak bersama untuk bersatu itu akan mengatasi alasan-alasan seperti kedaerahan, kesukuan, keturunan, keagamaan, dan sejenisnya dengan tetap menghormati perbedaan-perbedaan yang ada. Sejak peristiwa tahun 1928 itu, dunia dikejutkan oleh kemampuan dan kesanggupan bangsa Indonesia untuk bersatu padu dalam kemajuan. (Sudiyo;2002:43)
Namun demikian, sepantasnya harus dihargai bahwa dalam proses penyatuan dari berbagai sifat kedaerahan menjadi sifat nasional merupakan suatu proses integrasi yang nilainya sangat dalam. Hal ini berlaku apa yang telah di kemukakan oleh teori nasonalisme dari seorang pujangga Prancis bernama Ernest Renan, yang intinya, adalah bahwa rasa senasib dan sepenanggungan suatu bangsa menyebabkan timbulnya semangat persatuan untuk membentuk suatu negara kebangsaan. Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa sejak selesainya kongres pemuda kedua tersebut, organisasi-organisasi pemuda kedaerahan mulai memproses untuk “bersatu menjadi satu wadah”, dan baru berhasil secara tuntas, yaitu pada tanggal 31 Desember 1930 dengan nama organisasi “Indonesia Muda”. (Sudiyo;2002:52).
1.2  Tujuan


BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Pertumbuhan Organisasi Modern di Indonesia
Untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan dalam melawan penjajah, perlu adanya organisasi yang bersifat Nasional. Sedangkan organisasi yang bersifat Nasional baru muncul setelah adanya golongan “elit intelektual” karena golongan ini memiliki wawasan yang luas, akibat penerapan pendidikan sistem barat terhadap Pelajar Bumi Putera, pada masa STOVIA dan pelaksanaan poliik etis. Oleh karena itu, setelah tahun 1900 barulah muncul berbagai organisasi Pergerakan Nasional, yang diawali oleh perkumpulan Budi Utomo, yang berdiri pada tanggal 20 Mei 1908, kemudian berdiri pula organisasi-organisasi lainnya yaitu : Sarekat Islam, Indische Partji, Perhimpunan Indonesia dan lain-lain. Semua organisasi tersebut merupakan organisasi modern karena memilik susunan pengurus lengkap dan tujuan organisasi yang jelas yang dituangkan dalam anggaran dasar rumah tangga. (Sudiyo;2002:21).
1. Jong Indonesia
Perjuangan pemuda ditandai dengan berdirinya perkumpulan Budi Utomo tanggal 20 Mei 1908. Organisasi ini didirikan oleh pelajar STOVIA dibawah pimpinan R.Soetomo.(Sudiyo;2002:45).
Pada tanggal 7 Maret 1915 didalam gedung STOVIA, lahirlah organisasi muda yang bersifat kedaerahan bernama “Tri Koro Darmo” merupakan organisasi muda pertama, yang sesungguhnya Tri Koro Dharmo berarti tiga mulia, berlambangkan “keris” yang bertuliskan “Sakti, Budi, Bakti”, asas organisasi ini adalah:
  1. Menimbulkan pertalian antara murid-murid bumi putera pada sekolah-sekolah menengah, dan kursus perguruan menengah (ultgebreid) dan sekolah vak.
  2. Menambahkan pengetahuan umum bagi anggota-anggotanya.
  3. Membangkitkan dan mempertajam perasaan buat segala bahasa dan budaya Indonesia.(Sudiyo;2002:46).
Untuk sementara yang dapat diterima masuk menjadi anggota Tri Koro Dharmo adalah para pemuda yang berasal dari Jawa dan Madura. Tujuan organisasi ini sebenarnya untuk mencapai Jawa raya, dengan memperkokoh rasa persatuan antara pemuda Jawa, Sunda, Madura, dan Lombok. Namun, mengingat semakin banyak pemuda yang berminat masuk menjadi anggota, bahkan tidak saja pemuda dari Jawa dan Madura, melainkan juga dari berbagai pulau di Indonesia ini, maka akhirnya Tri Koro Dharmo membuka kesempatan pemuda-pemuda dari berbagai pulau. (Sudiyo;2002:46).
Dengan kesempatan yang diberikan oleh Tri Koro Dharmo tersebut, banyak pemuda dari Sumatera masuk menjadi anggota Tri Koro Dharmo. Pada tanggal 9 Desember 1917, lahirlah organisasi pemuda dari Sumatera bernama “Jong Sumateranen Bond”. Diantara pemuda-pemuda dari Sumatera tersebut, yang lebih dikenal selanjutnya adalah Moh Hatta dan Moh Yamin. Kedua pemuda ini akhirnya terpilih sebagai pemimpin dalam organisasi pemuda itu. (Sudiyo;2002:47).
Organisasi pemuda itu lebih menitik beratkan semangat kedaerahan. Hal ini untuk menunjukkan bahwa pergerakan untuk melawan penjajah tidak hanya dilakukan oleh pemuda Jawa saja, tetapi juga daerah-daerah lain ada rasa tidak senang terhadap pemerintah kolonial Belanda. Hanya dalam kesepakatan dan pengalaman dalam perjuangan, maka tidak lagi berjuang secara fisik, melainkan berjuang secara moral, jadi tidak ada perang fisik, melainkan berjuang melalui semangat persatuan dan kesatuan yang dapat dibina melalui pendidikan. Oleh karena itu, pemuda-pemuda harus sekolah untuk memperoleh kecerdasan dan menambah wawasan. (Sudiyo;2002:47).
Dengan berprinsip tersebut diatas, maka pada tanggal 12 Juni 1918, nama Tri Koro Dharmo, diubah namanya menjadi “Jong Java”. Selanjutnya diikuti pemuda-pemuda dari daerah lain, dengan mendirikan organisasi pemuda sesuai dengan asal nama daerahnya. Sehingga muncul organisasi: Jong Bataks Bond, Jong Celebes, Jong Minahasa, Jong Ambon, Sekar Rukun, Pemuda Kaum Betawi, Timoresche Jongeren Bond, dan lain-lain. (Sudiyo;2002:47).
Sampai dengan berlangsungnya kongres pemuda pertama pada tanggal 30 April-2 Mei 1926, semangat kedaerahan tersebut masih dipertahankan secara kuat. Dampak dalam kongres tersebut belum menghasilkan kebulatan pendapat, terutama masalah fusi (penggabungan) organisasi pemuda menjadi satu wadah dan masalah “bahasa persatuan”, juga langkah perjuangannya masih sangat hati-hati dn belum berani melangkah keperjuangan dalam bidang politik. (Sudiyo;2002:48).
Walaupun pada mulanya masih mempertahankan sifat kedaerahan, namun ternyata pandangan kedepan cukup luas. Para pemuda dari berbagai organisasi kedaerahan itu, mencoba untuk menggabungkan berbagai aspirasi dan pendapat, agar segala perbedaan suku, budaya, (adat), kepercayaan maupun agama tidak menjadi permasalahan, maka dibentuklah “Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia “ (PPPI) pada bulan September 1926 di Jakarta di bawah kepemimpinan Moh.Abdullah Sigit. Pemikiran yang timbul dari PPPI itu, berhasil mendirikan wadah pemuda dalam satu organisasi yaitu “Jong Indonesia”, terbentuk pada tanggal 20 Februari 1927 di Bandung, kemudian Jong Indonesia dalam kongresnya pada bulan Desember 1927 bersepakat mengubah nama organisasinya menjadi “Pemuda Indonesia”. (Sudiyo; 2002:48).
Salah satu wujud dari pertumbuhan modern Indonesia yakni organisasi kemerdekaan (Jong Indonesia) di mana para pemuda yang tergabung di dalamnya memandang perlu pembaharuan wawasan pada organisasi-organisasi kedaerahan. Mereka memandang perlu adanya organisasi pemuda lepas dari sifat kedaerahan dan mendasarkan diri pada sifat kebangsaan dengan kebangsaan sebagai dasar organisasi. Organisasi ini berada yang berumur 15 tahun keatas. Sebagian besar anggotanya berasal dari pelajar, pada tanggal 27 Februari di kota Bandung dibawa pimpinan Soekarno dan beranggotakan para pemuda yang berumur 15 tahun keatas. Sebagian besar anggotanya berasal dari pelajar-pelajar AMS dan mahasiswa RHS dan pelajar STOVIA.
Sesuai dengan sifat dan asal anggotanya, tujuan Jong Indonesia adalah memperluas ide kesatuan Nasional Indonesia “Sebagai realisasi tujuan itu, Jong Indonesia mendirikan organisasi perpaduan, mengadakan kerja sama dengan organisasi-organisasi pemuda, menyelenggarakan rapat, dan sebagainya.
Sebagai organisasi yang bersifat Nasional Jong Indonesia mempunyai anggota yang cukup besar dikalang Indonesia (Pemuda). Para penerus berhasil membentuk cabang-cabang yakni Yogyakarta, Solo, dan Jakarta. Organisasi ini merupakan organisasi pemuda yang sangat aktif mencapai cita-cita memiliki peran penting dan setelah sumpah pemuda organisasi ini tetap konsekuen melaksanakan keputusan kongres misalnya dengan adanya Fusi menjadi Indonesia Muda. (Sudiyo; 2002 ; 47).
2. Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI)
Gerakan perhimpunan Indonesia di Indonesia di negeri Belanda berdasarkan “non cooperation” dan “self-help”, yang ada pada masa itu belum ada di indonesia. Pergerakan nasional yang ada di Indonesia, pertama kali adalah Budi Utomo dari tahun 1908-1926, belum bergerak langsung dalam bidang politik. Namun, ketika para mahasiswa Indonesia di negeri Belanda telah banyak menyelesaikan pendidikannya, maka banyak pula anggota-anggota Budi Utomo yang mendapat pengaruh politik dan ingin segera merubah cara perjuangannya. Hal ini dapat dimengerti, karena Dr. Soetomo yang termasuk pendiri Budi Utomo, pernah pula menjadi ketua P.I di negeri Belanda. Dengan demikian usaha untuk mengubah cara perjuangan itu, telah ada kontak dengan P.I. di negeri Belanda. (Sudiyo; 1989; 112)
Melalui majalah “Indonesia Merdeka” yang secara sembunyi-sembunyi dikirimkan ke Indonesia, jelas mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap pemikiran para tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia Pada tahun 1925, di Indonesia sudah banyak pelajar-pelajar yang duduk di sekolah lanjutan atas, bahkan di tingkat perguruan tinggi. Ini semua memudahkan cara untuk menebarluaskan cita-cita P.I. yang mengarah kepada cita-cita kemerdekaan (Sudiyo; 1989; 112)
Pada tahun 1925, di Indonesia telah didirikan perhimpunan pelajar-pelajar Indonesia (PPPI), tetapi peresmiannya baru tahun 1926. Anggota-anggotanya terdiri dari para pelajar-pelajar sekolah-sekolah tinggi yang ada di Jakarta dan di Bandung. Para tokoh PPPI antara lain ialah: Sugondo Djojopuspito, Sigit, Abdul Syukur, Sumito, Samijono, Wilopo, Moammad Yamin, A.K Gani, dan lain-lain. (Sudiyo; 1989; 113).
PPPI juga dapat menampung berbagai pemuda yang telah mempunyai atau menjadi anggota perkumpulan pemuda yang bersifat kedaerahan. Pada masa ini cukup besar. Sebaliknya kehidupan persatuan Nasional semakin subur. Oleh karena itu, akan memudahkan untuk mencapai kesepakatan dalam menggalang persatuan Nasional. Inilah benih-benih terjadinya Ikrar pemuda (Sudiyo; 1989; 130)
PPPI juga mempunyai hubungan dengan Perhimpunan Indonesia (PI) di negeri Belanda, meskipun secara organisasi PPPI tidak ada hubungan secara langsung namun PPPI banyak mendapat kiriman majalah Indonesia merdeka selundupan dari P.I. oleh karena itu, PPPI mengetahui persis segala sesuatu yang dilakukan PI dinegeri Belanda. Maka tidak aneh lagi, apabila PPPI berusaha keras untuk meneruskan cita-cita PI dengan pemberitahuan perkembangan perjuangan PI dalam forum Internasional. Cita-cita PI dan segala usahanya tersebut disebarkan dikalangan masyarakat Indonesia. Oleh PPPI juga merupakan pergerakan utama dalam penyelengaraan kongres pemuda II. PPPI itu memberi pengaruh besar sekali kepada pemuda-pemuda kebangsaan untuk merealisasi cita-cita persatuan yang sudah beberapa tahun lamanya yang menghinggapi hati sanubari mereka  (Sudiyo; 1989; 131)
Untuk mempersiapkan pelaksanaan kongres Pemuda II, tidak cukup memakan waktu satu atau dua hari. Melainkan persiapannya memakan waktu cukup lama. Pokok persoalan yang dapat menjadi bahan bahasan ialah bagaimana caranya mendapatkan bentuk persatuan diantara pemuda-pemuda indonesia yang sudah lama di cita-citakan itu. Juga akan di bicarakan dalam kongres Pemuda II tersebut soal-soal pendidikan, pengajaran, kebudayaan, kepanduan, kewanitaan dan meyakinkan rasa kesadaran nasional dan persatuan Nasional, untuk mencapai cita-cita kemerdekaan Indonesia (Sudiyo; 1989; 131)
 Tentang berbentuk persatuan, PPPI mengusulkan agar semua perkumpulan pemuda besatu dalam satu perkumpulan yang merupakan badan “Fusi”. Usul PPPI ini sebenarnya merupakan ulangan dan usul PPPI yang di ajukan dalam kongres pemuda satu tahun 1926. Karena hal itu dianggap suatu hal yang penting, maka oleh PPPI di ajukan kembali. Sedangkan dari perkumpulan pemuda yang lain, yaitu Jong Java tersebut akan diberi nama”Pemuda Indonesia”. Kedua pendapat ini, sebenarnya telah dibahas dalam Kongres Pemuda I, tetapi belum mendapat keputusan dari Kongres tersebut. (Sudiyo; 1989; 132)
Namun, setelah terjadi suatu peristiwa yang mengakibatkan banyak korban jiwa maupun penangkapan secara besar-besaran dan ditahannya para tokoh pergerakan nasional, maka kebutuhan terbentuknya persatuan sangat mendesak. Peristiwa tersebut adalah pemberontakan PKI pada bulan November 1926 yang gagal. Kemudian, juga peristiwa berdirinya perserikatan Nasional Indonesia (PNI), pada tanggal 4 juli 1927, yang selanjutnya atas usaha Ir. Soekarno dan beberapa orang pendirinya maka “Perserikatan”   diganti menjadi “Partai”. Dengan demikian menjadi “Partai Nasional Indonesia” (disingkat PNI juga). Partai ini langsung bergerak dalam bidang politik dan berhaluan “non-cooperation” dan ‘self-help”,sebagaimana yang telah dilakukan oleh Perhimpunan Indonesia di negeri Belanda. PNI dengan tegas bertujuan untuk mencapai Indonesia merdeka) (Sudiyo; 1989; 132)
Dari peristiwa-peristiwa tersebut diatas, maka usaha untuk pembentukan badan “Fusi” atau badan “Federasi” pemuda semakin dipercepat. Akhirnya secara praktis persiapan kongres Pemuda II telah terbentuk, sejak bulan Juni 1928. Semenjak terbentuknya pengurus Kongres itu, maka pengurus terus berusaha keras untuk terlaksananya Kongres Pemuda II. Hampir lima bulan lamanya, pengurus mempersiapkan kongres tersebut. Dari sejak acara pembukaan sampai dengan persidangan, telah disiapkan oleh panitia pengurus kongres. (Sudiyo; 1989; 133)
Pada tanggal 28 oktober 1928, maka kongres Pemuda II mengambil keputusan yang dibacakan oleh ketua kongres(Sugono Djoko Puspito): Kerapatan pemuda-pemuda Indonesia yang diadakan oleh perkumpulan-perkumpulan pemuda yang berdasarkan kebangsaan dengan namanya: Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Pemuda Indonesia, Sekar Rukun, Jong Islamieten Bond, Jong Celebes, Jong Ambon, Pemuda Kaum Betawi, dan PPPI membuka rapat pada tanggal 27 dan 28 Oktober 1928 di Jakarta. Sesudahnya menimbang segala isi pidato-pidato dan pembicaraan, maka kerapatan mengambil keputusan:
Pertama            : Kami Putra dan Putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia
Kedua            : Kami Putra dan Putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia
Ketiga            : Kami Putra dan Putri Indonesia menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Setelah mendengar putusan ini, kerapatan mengeluarkan keyakinan asas ini wajib dipakai oleh segala perkumpulan-perkumpulan kebangsaan indonesia, mengeluarkan keyakinan persatuan indonesia diperkuat dengan memperhatikan dasar persatuannya: Kemauan, sejarah, hukum adat, pendidikan dan kepaduan. (Sudiyo; 1989; 146)
Keputusan tersebut, pada mulanya merupakan”IKRAR PEMUDA”, tetapi lama kelamaan terkenal dengan nama”SUMPAH PEMUDA”. (Sudiyo; 1989; 147)
2.2  Sumpah pemuda dan Pengaruhnya Bagi Pergerakan Nasional Lainnya
Kelahiran organisasi pergerakan kebangsaan pertama, walaupun dalam masa selanjutnya di ambil alih oleh golongan tua, telah mengilhami munculnya gerakan-gerakan pemuda lainnya di Indonesia untuk masa selanjutnya. Gerakan pemuda itu berkembang sedemikian rupa hingga mengarah pada suatu kesepakatan nasional dalam bentuk sumpah bersama untuk nusa dan bangsa, tanah air dan bahasanya yang sama yaitu Indonesia.
Selanjutnya Sumpah Pemuda 1928, di adakan lagi kongres pemuda di Yogyakarta pada tanggal 24-28 Desember 1928. Sesungguhnya sewaktu Sumpah Pemuda disetujui pada tanggal 28 Oktober tahun 1928, organisasi-organisasi pemuda pendukung belum menyetujui di adakannya fusi antara organisasi pemuda tersebut seperti yang diusulkan PPPI karena mencapai kesatuan fikiran. (Sagimun;1998:74).
Yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat pada waktu itu sudah barang tentu keputusan Jong Java  yang bulan Desember 1928 itu( Sesudah Kongres Pemuda II) akan mengadakan kongresnya yang akan memberi keputusan tentang fusi. Organisasi-organisasi lain menunggu dengan berdebar-debar keputusan kongres Jong Java pada waktu itu merupakan perkumpulan pemuda yang tertua dan yang terbesar dan memiliki organisasi yang rapi. Fusi perkumpulan-perkumpulan pemuda lainnya tanpa Jong Java akan kurang berarti. (Sagimun;1998:75)
Seperti di atas dikemukakan ide persatuan di kalangan Jong Java yang dahulu bernama Tri Koro Dharmo dalam arti persatuan antara pemuda-pemuda dari seluruh kepulauan telah lama ada bahkan sudah sejak didirikannya di tahun 1915. Ide persatuan ini lebih nyata dengan adanya putusan kongres Jong Java yang ke IV tahun 1921 di Bandung yang merubah pasal 3 anggaran dasar Jong Java demikian rupa sehingga keinginan bersatu dicantumkan dalamanggaran dasar. Setelah dirubah sesuai putusan kongres tersebut, pasal 3 berbunyi:
“ Jong Java bertujuan memepersiapkan anggota-anggotanya untuk membantu pembentukan Jawa raya dan untuk memupuk kesadaran bersatu Rakyat Indonesia sehubungan dengan maksud untuk mencapai Indonesia merdeka.” (Sagimun;1998:75).
Jong Java kemudian juga melihat didirikannya PPPI sebagai himpunan mahasiswa-mahasiswi Indonesia yang tidak lagi mengenal kesukuan atau kedaerahan. Proses dalam Jong java sendiri ditambah dengan pertumbuhan yang nyata dari ide persatuan nasional Indonesia telah mematangkan jiwa anggota-anggota Jong Java dari jiwa kesukuan menjadi jiwa nasional Indonesia. (Sagimun;1998:75)
Kongres menghasilkan suatu keputusan yang penting, yakni akan di adakannya fusi atau gabungan diantara organisasi-organisasi pemuda yang ada. Keputusan itu disetujui oleh Jong Java Jong Sumatra, dan Jong Celebes,. Untuk merealisasikan keputusan tersebut dibentuklah komisi yang kemudian di kenal dengan nama komisi besar Indonesia Muda.
Pada tanggal 23 april 1929 atas undangan pedoman Besar Jong Java wakil-wakil pemuda Indonesia, Pemuda Sumatra dan Jong Java mengadakan rapat yang pertama di gedung IC Kramat 106 Jakarta. Keputusan ialah bahwa mereka menginginkan segera didirikannya perkumpulan baru yang sejalan dengan kemauan persatuan Indonesia dan berdasarkan kebangsaan Indonesia dan juga segera membentuk komisi persiapan yaitu yang dinamakan Komisi Besar Indonesia Muda (KBIM). (Sagimun;1998:77).
Dalam kongresnya di Semarang dari tanggal 23-29 Desember 1929 Jong java membubarkan diri untuk meleburkan diri ke dalam perkumpulan Indonesia Muda. Keputusan berbunyi sebagai berikut:
Kerapatan Besar mengambil keputusandengan memperhatikan Statuten perkumpulan Jong Java dahulu bernama Tri Koro Dharmo, ialah:
Pertama : Sedjak dari saat ini perkoempoelan Jong Java daholoe bernama Tri Koro Dharmo, tidak berdiri lagi.
Kedoea  : Sedjak dari saat ini segala tjabang perkoempoelan Jong Java, dahoeloe bernama tri Koro Dharmo, berdiri di bawah “pemandangan” Komisi Besar perkoempoelan Indonesia Moeda dan wadjib bersatoe didalam perkoempoelan ini. (Sagimun;1998:78).
Akhirnya pada tanggal 31 Desember 1930 dalam konfrensi di Solo di tetapkan berdirinya organisasi Indonesia Muda. Pada saat berdirinya organisasi itu telah memiliki 25 cabang dengan 2400 anggota (Sudiyo;2002:74).
Indonesia Muda telah berdiri, Indonesia Muda berdiri sebagai kenyataan cita-cita Sumpah Pemuda. Dan sesungguhnya, Indonesia Muda adalah penerus roh “Sumpah Pemuda”.(Sagimun;1998:84).
Sejak 1 Januari 1931 Indonesia Muda mulai bergerak dengan semangat kebangsaan yang menyala-nyala. Dimana-mana di seluruh Indonesia pendirian Indonesia Muda diterima dengan gembira. (Sagimun;1998:85).
Tujuan Indonesia Muda seperti di tetapkan dalam konsep adalah: Memperkuat rasa persatuan di kalangan pelajar-pelajar, membangunkan dan mempertahankan keinsyafan, di antaranya bahwa mereka adalah anak bangsa yang bertanah air satu agar tercapailah Indonesia Raya. (Sagimun;1998:85).
Untuk mencapai tujuan ini Indonesia Muda berusaha memajukan rasa saling menghargai dan memelihara persatuan di semua anak Indonesia, bekerja sama dengan lain-lain perkumpulan pemuda, mengadakan kursus-kursus untuk mempelajari bahasa persatuan dan memberantas buta huruf, memajukan olahraga dan sebagainya. (Sagimun;1998:85).
Mengenai organisasi-organisasi kepanduan yang semula merupakan bagian dari pada organisasi-organisasi pemuda-pemuda yang telah dilebur itu (JJP, INPO,PPS) perlu ditentukan bahwa organisasi –organisasi tersebut dilebur menjadi satu organisasi kepanduan yang besar dengan nama kepanduan Bangsa Indonesia (KBI) yang berhaluan kebangsaan seperti Indonesia Muda dan berkain leher merah-putih sebagai tanda di milikinya jiwa nasional. (Sagimun;1998:85).
2.3  Konsep Kebangsaan
Konsep kebangsaan merupakan jiwa, cita-cita, atau falsafah hidup yang tidak lahir dengan sendirinya. Ia sesungguhnya merupakan hasil konstruksi dari realitas sosial dan politik (Anderson, 2002). Selanjutnya dikatakannya, bahwa sesungguhnya konsep ‘bangsa’ itu adalah suatu komunitas terbayang (Imagined Community). Sebagai komunitas terbayang, maka konsep kebangsaan terletak dalam alam pikiran para pendukungnya, yang membayangkan diri sebagai suatu bangsa.
Bayangan tentang bangsa di Inndonesia semula hanya bergulir di kalangan elite  intelektual. Selanjutnya melalui tahapan-tahapan dalam bentuk bayangan komunitas terbatas, seperti etnis, budaya, dan agama, akhirnya setelah melalui perjuangan yang terus menerus, lahirlah komunitas yang lebih luas, yaitu komunitas kebangsaan.
Proses perkembangan dan pertumbuhan wawasan kebangsaan itu dimulai dengan lahirnya organisasi pergerakan Budi Utomo. Para pendirinya seperti Sutomo, Gunawan dan Suraji tentu saja telah memiliki bayangan (imagined) tentang bangsa sebagai komunitas bersama. Meskipun bayangan tentang komunitas ‘bangsa’ masih terbatas untuk “Jawa dan Madura”, tetapi kemunculannya telah membukakan aliran sungai yang terus mengalir semakin luas bagi tumbuhnya bayangan komunitas bangsa yang lebih luas dan  lebih kuat.
Aliran sungai Budi Utomo itulah yang mendorong aliran sungai Serikat Islam, Indische Partij dan Perhimpunan Indonesia. Mulai PI inilah bayangan komunitas bangsa yang lebih luas berkembang dan menguat. Bayangan komunitas bangsa itupun akhirnya dicarikan identitasnya. Mulai dari diintrodusirnya nama “Indische” kemudian “Indonesische” dan akhirnya menjadi “Indonesia“. Pengaruh konsep “Indonesia” dari PI ini kemudian mengalir dengan deras dan mengaliri organisasi-organisasi pergerakan lainnya. Dan puncak dari aliran deras bayangan komunitas bangsa dengan nama Indonesia tersebut adalah lahirnya “Sumpah Pemuda”. Dengan bermodalkan semangat Sumpah Pemuda inilah para pejuang akhirnya dapat mewujudkan banyangan komunitas bangsa itu menjadi negara bangsa bernama Negara Kesatuian Republik Indonesia (NKRI) pada 17 Agustus 1945.
Membahas wawasan kebangsaan dengan demikian harus dimulai dari nilai-nilai yang dibangun oleh para pendahulu dan pendiri bangsa ini. Mereka telah menanamkan nilai-nilai persatuan dengan mencetuskan “Sumpah Pemuda” yang kemudian menjadi embrio dari wawasan kebangsaan yaitu : Satoe Noesa, Satoe Bangsa dan Satoe Bahasa, yaitu Indonesia. Para founding fathers memproklamasikan kemerdekaan Indonesia dengan tujuan umum adalah mengubah sistem feodalistik dan sistem kolonialis menjadi sistem modern dan sistem demokrasi. Kemerdekaan menurut Sukarno adalah “jembatan emas” menuju cita-cita demokrasi, sedangkan pembentukan “nation and character building” dilakukan di dalam prosesnya secara terus menerus dan berkesinambungan.
2.4  Tantangan Kekinian
Banyak kalangan yang melihat perkembangan politik, sosial, ekonomi dan budaya di Indonesia sudah sangat memprihatinkan. Bahkan, kekuatiran itu menjadi semakin nyata ketika menjelajah pada apa yang dialami oleh setiap warganegara akhir-akhir ini, yakni memudarnya wawasan kebangsaan.
Mencermati perilaku seperti itu, maka dapat dipastikan bahwa ikatan nilai-nilai kebangsaan yang selama ini terpatri kuat dalam kehidupan bangsa Indonesia yang merupakan pengejawantahan dari rasa cinta tanah air, bela negara dan semangat patriotisme bangsa mulai luntur dan longgar. Nilai-nilai budaya gotong royong, kesediaan untuk saling menghargai dan saling menghormati perbedaan serta kerelaan berkorban untuk kepentingan bangsa yang dulu melekat kuat dalam sanubari masyarakat yang dikenal dengan semangat kebangsaannya sangat kental terasa makin menipis.
Perbincangan tentang wawasan kebangsaan terkait dengan dinamika perkembangan dewasa ini merupakan isu sentral yang sangat strategis dan relevan untuk dibicarakan serta dirumuskan strategi pemecahannya.
Terdapat beberapa alasan mendasar mengapa persoalan wawasan kebangsaan menjadi isu sentral bagi bangsa Indonesia di tengah perkembangan global. Pada tataran politis, globalisasi yang wujudnya proses menghilangkan sekat-sekat teritorial dan kebudayaan menyebabkan perubahan mondial di seluruh sektor kehidupan manusa, baik aspek politik, sosial, ekonomi, budaya maupun agama. Pengutamaan nilai-nilai rasionalitas, kebebasan, humanisme universal yang dibawa globalisasi, tidak dapat dihindari.
Kesadaran kebersamaan global yang terjadi di seluruh penjuru dunia, secara politis mengakibatkan munculnya gagasan transnasional yang justru melemahkan posisi suatu negara bangsa. “Masyarakat mulai mempertanyakan bagaimana kontribusi dan peran negara bangsa bagi warganya, dan sejauh mana relevansi semangat kebangsaan bagi sebuah negara”. Perkembangan kesadaran politik global, di satu sisi bernilai positif karena memungkinkan persoalan yang dihadapi sebuah negara dipecahkan bersama secara lintas bangsa. “Namun, di sisi lain kondisi tersebut dapat menjadi ancaman terhadap lunturnya rasa kebangsaan warga negaranya”.
Sisi yang lain, digulirkannya otonomi daerah, di satu pihak bermanfaat untuk mendorong lahirnya kemandirian masyarakat di daerah. Tetapi perlu mewaspadai tumbuhnya berbagai sikap yang dapat mengancam semangat kebangsaan dan keberadaan NKRI yang majemuk dan multikultural. Tumbuhnya keangkuhan etnis, sikap kedaerahan yang etnosentris, serta kesadaran putra daerah sebagai efek samping Otonomi daerah, merupakan salah satu faktor yang bisa menggerogoti wawasan kebangsaan NKRI yang telah dimiliki.
Apalagi bila melihat bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang plural seperti beragamnya suku, budaya daerah, agama, dan berbagai aspek politik lainnya, serta kondisi geografis negara kepulauan yang tersebar. Semua ini mengandung potensi konflik (latent sosial conflict) yang dapat merugikan dan mengganggu persatuan dan kesatuan bangsa.
Pada tataran ekonomi, kondisi masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, seperti tingginya pengangguran, rendahnya pendapatan yang kurang memadai, serta ketimpangan sosial lainnya, merupakan sederetan potensi konflik penyebab disintegrasi bangsa. Faktor sosial ekonomi, merupakan faktor dominan yang menentukan kuat kemahnya suatu bangsa. Modernisasi yang diperkenalkan globalisasi, cenderung serba rasional, pragmatis, materialistis, hedonistik, yang pada kenyataannya semakin mempengaruhi sistem nilai, cara pandang, kriteria dan model perilaku masyarakat.
Apabila krisis politik dan krisis ekonomi sudah sampai pada krisis kepercayaan diri, maka eksistensi Indonesia sebagai bangsa (nation) sedang dipertaruhkan. Maka, sekarang ini adalah saat yang tepat untuk melakukan reevaluasi terhadap proses terbentuknya “nation and character building” kita selama ini, karena boleh jadi persoalan-persoalan yang kita hadapi saat ini berawal dari kesalahan dalam menghayati dan menerapkan konsep awal “kebangsaan” yang menjadi fondasi ke-Indonesiaan.
Yang kita pertaruhkan adalah “survival” dan lestarinya nilai-nilai pembangunan bangsa (nation building) melalui penyiapan para generasi baru yang menjadi peserta didik kita, kepada siapa hari depan bangsa ini kita percayakan.
2.5  Peranan Wawasan Kebangsaan
Berbicara wawasan kebangsaan tentunya tidak terlepas dari bagaimana cara pandang dan sikap suatu bangsa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dimana, cara pandang dan sikap tersebut berlandaskan falsafah hidup yang sama.
Talcott Parsons (1951) mengenai teori sistem, menyatakan bahwa "wawasan kebangsaan dapat dipandang sebagai suatu falsafah hidup yang berada pada tataran sub-sistem budaya. Dalam tataran ini wawasan kebangsaan dipandang sebagai ‘way of life’ atau merupakan kerangka/peta pengetahuan yang mendorong terwujudnya tingkah laku dan digunakan sebagai acuan bagi seseorang untuk menghadapi dan menginterpretasi lingkungannya". Jadi, sebenarnya setiap masyarakat Indonesia haruslah menjadikan wawasan kebangsaan sebagai tolok ukur dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena jika tidak, maka setiap masyarakat Indonesia akan cenderung mengutamakan kepentingan pribadi dan golongannya, sehingga berdampak buruk terhadap keutuhan bangsa.
Peranan wawasan kebangsaan dalam mewujudkan keutuhan bangsa tidak terlepas dari empat pilar utama kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena melalui empat pilar tersebut –Pancasila, UUD 45, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika –maka segala perbedaan(agama, etnis, golongan, dan letak daerahnya) dapat dipersatukan demi keutuhan bangsa.
Oleh karena itu untuk menumbuhkembangkan cita-cita NKRI maka diperlukan pemahaman tentang wawasan kebangsaan dari masyarakat Indonesia. Hal ini dikarenakan pengaruh rasa nasionalisme masyarakat Indonesia sebagai wujud dari wawasan kebangsaan sangat menentukan keutuhan bangsa. Dengan demikian salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah merevitalisasi wawasan kebangsaan melalui pemasyarakatan wawasan kebangsaan.
Pemasyarakatan wawasan kebangsaan merupakan pemberian pemahaman kepada seluruh warga Negara Indonesia tentang kehidupan berbangsa dan bernegara dengan berlandaskan empat pilar utama kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini bertujuan supaya membangkitkan kesadaran masyarakat Indonesia dengan menghargai pluralisme bangsa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Proses pemasyarakatan wawasan kebangsaan dapat dilakukan melalui sosialisasi kepada masyarakat Indonesia. Misalnya melalui media massa (cetak maupun elektronik) dan pemberian pendidikan wawasan kebangsaan(lokakarya, seminar, dan lainnya).
Selanjutnya, pemasyarakatan wawasan kebangsaan dalam rangka mewujudkan keutuhan bangsa dapat dilakukan melalui keteladanan para pemimpin bangsa ini. Para pejabat pemerintah yang mengemban amanat rakyat haruslah bekerja dengan penuh integritas. Sehingga melalui keteladanan tersebut, masyarakat semakin optimis dalam kehidupannya berbangsa dan bernegara.
Dengan demikian semoga melalui revitalisasi peranan wawasan kebangsaan saat ini maka keutuhan bangsa Indonesia dapat terwujud. Dan cita-cita NKRI senantiasa bertumbuh dan berkembang dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

DAFTAR PUSTAKA
Moh Sadiki Daeng Materu, 1985, Sejarah Pergerakan Nasional Bangsa Indonesia, Jakarta : Gunung Agung.
 Sudiyo, 2002, Pergerakan Nasional Mencapai dan Mempertahankan kemerdekaan, Jakarta : Inti Idayu Pers.
 Sudiyo, 1989, Perhimpunan Indonesia Sampai dengan Sumpah Pemuda, Jakarta : Bina Aksara.
 Sudiyo, 2002, Pergerakan Nasional Mencapai dan Mempertahankan kemerdekaan, Jakarta : Rineka Cipta.
 Nugroho Notosantoso, 1991, Sejarah Nasioanal Indonesia, Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
 Drs.G. Moedjanto, M.A, 1980, Indonesia Abad ke-20, Yokyakarta : Kanisius Sagimun, m.D. 1948, Soempah Poemoeda, Jakarta : Balai Pustaka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar