Nation and Character Building
Melalui Pemahaman Wawasan Kebangsaan
Otho H. Hadi *)
I. Pendahuluan
Banyak kalangan yang melihat perkembangan politik, sosial, ekonomi
dan budaya di Indonesia sudah sangat memprihatinkan. Bahkan, kekuatiran itu
menjadi semakin nyata ketika menjelajah pada apa yang dialami oleh setiap
warganegara, yakni memudarnya wawasan kebangsaan. Apa yang lebih menyedihkan
lagi adalah bilamana kita kehilangan wawasan tentang makna hakekat bangsa dan
kebangsaan yang akan mendorong terjadinya dis-orientasi dan perpecahan.
Pandangan di atas sungguh wajar dan tidak mengada-ada. Krisis yang
dialami oleh Indonesia ini menjadi sangat multi dimensional yang saling
mengait. Krisis ekonomi yang tidak kunjung henti berdampak pada krisis sosial dan
politik, yang pada perkembangannya justru menyulitkan upaya pemulihan ekonomi.
Konflik horizontal dan vertikal yang terjadi dalam kehidupan sosial merupakan
salah satu akibat dari semua
krisis yang terjadi, yang tentu akan melahirkan ancaman dis-integrasi bangsa.
Apalagi bila melihat bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang plural
seperti beragamnya suku, budaya daerah, agama, dan berbagai aspek politik
lainnya, serta kondisi geografis negara kepulauan yang tersebar. Semua ini
mengandung potensi konflik (latent sosial conflict) yang dapat merugikan
dan mengganggu persatuan dan kesatuan bangsa.
Dewasa ini, dampak krisis multi-dimensional ini telah memperlihatkan
tanda-tanda awal munculnya krisis kepercayaan diri (self-confidence) dan
rasa hormat diri (self-esteem) sebagai bangsa. Krisis kepercayaan
sebagai bangsa dapat berupa keraguan terhadap kemampuan diri sebagai bangsa
untuk mengatasi persoalan-persoalan mendasar yang terus-menerus datang,
seolah-olah tidak ada habis-habisnya mendera Indonesia. Aspirasi politik untuk
merdeka di berbagai daerah, misalnya, adalah salah satu manifestasi wujud
krisis kepercayaan diri sebagai satu bangsa, satu “nation”.
Apabila krisis politik dan krisis ekonomi sudah sampai pada krisis
kepercayaan diri, maka eksistensi Indonesia sebagai bangsa (nation)
sedang dipertaruhkan. Maka, sekarang ini adalah saat yang tepat untuk melakukan
reevaluasi terhadap proses terbentuknya “nation and character building”
kita selama ini, karena boleh jadi persoalan-persoalan yang kita hadapi saat
ini berawal dari kesalahan dalam menghayati dan menerapkan konsep awal
“kebangsaan” yang menjadi fondasi ke-Indonesia-an. Kesalahan inilah yang dapat
menjerumuskan Indonesia, seperti yang ditakutkan Sukarno, “menjadi bangsa
kuli dan kuli di antara bangsa-bangsa.” Bahkan, mungkin yang lebih
buruk lagi dari kekuatiran Sukarno, “menjadi bangsa pengemis dan pengemis di
antara bangsa-bangsa”.[1]
Di samping itu, timbul
pertanyaan mengapa akhir-akhir ini wawasan kebangsaan menjadi banyak
dipersoalkan. Apabila kita coba mendalaminya, menangkap berbagai ungkapan
masyarakat, terutama dari kalangan cendekiawan dan pemuka masyarakat, memang
mungkin ada hal yang menjadi keprihatinan. Pertama, ada kesan seakan-akan
semangat kebangsaan telah menjadi dangkal atau tererosi terutama di kalangan
generasi muda–seringkali disebut bahwa sifat materialistik mengubah idealisme
yang merupakan jiwa kebangsaan. Kedua, ada kekuatiran ancaman disintegrasi
kebangsaan, dengan melihat gejala yang terjadi di berbagai negara, terutama
yang amat mencekam adalah perpecahan di Yugoslavia, di bekas Uni Soviet, dan
juga di negara-negara lainnya seperti di Afrika, dimana paham kebangsaan
merosot menjadi paham kesukuan atau keagamaan. Ketiga, ada keprihatinan tentang
adanya upaya untuk melarutkan pandangan hidup bangsa ke dalam pola pikir yang
asing untuk bangsa ini.
II. Konteks Aktual
Para founding fathers memproklamasikan kemerdekaan Indonesia
dengan tujuan umum adalah mengubah sistem feodalistik dan sistem kolonialis menjadi
sistem modern dan sistem demokrasi.[2]) Kemerdekaan menurut Sukarno adalah
“jembatan emas” menuju cita-cita demokrasi, sedangkan pembentukan “nation
and character building” dilakukan di dalam prosesnya. Kalau pada suatu saat
Sukarno menyatakan bahwa, “revolusi belum selesai,” maka dalam konteks “nation
and character building,” pernyataan demikian dapat dimengerti. Artinya,
baik “nation” maupun “character” yang dikehendaki sebagai bangsa
merdeka belum mencapai standar yang dibutuhkan. Maka dalam hubungan “nation
and character building” seperti yang diuraikan di atas, beberapa hal berikut terkandung di dalam gagasan
awalnya:
·
Pertama, Kemandirian (self-reliance), atau menurut istilah
Presiden Soekarno adalah “Berdikari” (berdiri di atas kaki sendiri).
Dalam konteks aktual saat ini, kemandirian diharapkan terwujud dalam percaya
akan kemampuan manusia dan penyelenggaraan Republik Indonesia dalam mengatasi
krisis-krisis yang dihadapinya.
·
Kedua, Demokrasi (democracy), atau kedaulatan
rakyat sebagai ganti sistem kolonialis. Masyarakat demokratis yang ingin
dicapai adalah sebagai pengganti
dari masyarakat warisan yang feodalistik. Masyarakat di mana setiap anggota
ikut serta dalam proses politik dan pengambilan keputusan yang berkaitan
langsung dengan kepentingannya untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran.
·
Ketiga, Persatuan Nasional (national unity). Dalam
konteks aktual dewasa ini diwujudkan dengan kebutuhan untuk melakukan
rekonsiliasi nasional antar berbagai kelompok yang pernah bertikai ataupun
terhadap kelompok yang telah mengalami diskriminasi selama ini.
·
Keempat, Martabat Internasional (bargaining
positions). Indonesia tidak
perlu mengorbankan martabat dan kedaulatannya sebagai bangsa yang merdeka untuk
mendapatkan prestise, pengakuan dan wibawa di dunia internasional. Sikap
menentang hegemoni suatu bangsa atas bangsa lainnya adalah sikap yang mendasari
ide dasar “nation and character building.” Bung Karno menentang segala
bentuk “penghisapan suatu bangsa terhadap bangsa lain,” serta menentang
segala bentuk “neokolonialisme” dan “neoimperialisme.” Indonesia
harus berani mengatakan “tidak” terhadap tekanan-tekanan politik yang tidak
sesuai dengan “kepentingan nasional” dan “rasa keadilan” sebagai bangsa
merdeka.
III. Wawasan Kebangsaan sebagai bagian dari ‘nation
and character building’
Setiap orang tentu memiliki rasa kebangsaan dan memiliki wawasan
kebangsaan dalam perasaan atau pikiran, paling tidak di dalam hati nuraninya.
Dalam realitas, rasa kebangsaan itu seperti sesuatu yang dapat dirasakan tetapi
sulit dipahami. Namun ada getaran atau resonansi dan pikiran ketika rasa
kebangsaan tersentuh. Rasa kebangsaan bisa timbul dan terpendam secara berbeda
dari orang per orang dengan naluri kejuangannya masing-masing, tetapi bisa juga
timbul dalam kelompok yang berpotensi dasyat luar biasa kekuatannya.
Rasa kebangsanaan adalah kesadaran berbangsa, yakni rasa yang lahir
secara alamiah karena adanya kebersamaan sosial yang tumbuh dari kebudayaan,
sejarah, dan aspirasi perjuangan masa lampau, serta kebersamaan dalam menghadapi
tantangan sejarah masa kini. Dinamisasi rasa kebangsaan ini dalam mencapai
cita-cita bangsa berkembang menjadi wawasan kebangsaan, yakni pikiran-pikiran
yang bersifat nasional dimana suatu bangsa memiliki cita-cita kehidupan dan
tujuan nasional yang jelas. Berdasarkan rasa dan paham kebangsaan itu, timbul
semangat kebangsaan atau semangat
patriotisme.
Wawasan kebangsaan mengandung pula tuntutan suatu bangsa untuk
mewujudkan jati diri, serta mengembangkan perilaku sebagai bangsa yang meyakini
nilai-nilai budayanya, yang lahir dan tumbuh sebagai penjelmaan kepribadiannya.
Rasa kebangsaan bukan monopoli suatu bangsa, tetapi ia merupakan
perekat yang mempersatukan dan memberi dasar keberadaan (raison d’entre)
bangsa-bangsa di dunia. Dengan
demikian rasa kebangsaan bukanlah sesuatu yang unik yang hanya ada dalam diri
bangsa kita karena hal yang sama juga dialami bangsa-bangsa lain.
Bagaimana pun konsep kebangsaan itu dinamis adanya. Dalam
kedinamisannya, antar-pandangan kebangsaan dari suatu bangsa dengan bangsa
lainnya saling berinteraksi dan saling mempengaruhi. Dengan benturan budaya dan
kemudian bermetamorfosa dalam campuran budaya dan sintesanya, maka derajat
kebangsaan suatu bangsa menjadi dinamis dan tumbuh kuat dan kemudian
terkristalisasi dalam paham kebangsaan.[3]
Paham kebangsaan berkembang dari waktu ke waktu, dan berbeda dalam
satu lingkungan masyarakat dengan lingkungan lainnya. Dalam sejarah
bangsa-bangsa terlihat betapa banyak paham yang melandaskan diri pada
kebangsaan. Ada pendekatan ras atau etnik seperti Nasional-sosialisme (Nazisme)
di Jerman, atas dasar agama seperti dipecahnya India dengan Pakistan, atas
dasar ras dan agama seperti Israel-Yahudi, dan konsep Melayu-Islam di Malaysia,
atas dasar ideologi atau atas dasar geografi atau paham geopolitik, seperti
yang dikemukakan Bung Karno pada pidato 1 Juni 1945.[4]
“Seorang anak kecil pun, jikalau ia melihat peta dunia, ia dapat
menunjukkan bahwa kepulauan Indonesia merupakan satu kesatuan. Pada peta itu
dapat ditunjukkan satu kesatuan gerombolan pulau-pulau diantara 2 lautan yang
besar; Lautan Pasifik dan Lautan Hindia, dan di antara 2 benua, yaitu Benua
Asia dan benua Autralia. Seorang anak kecil dapat mengatakan, bahwa pulau-pulau
Jawa, Sumatera, Borneo, Selebes, Halmahera, kepulaua Sunda Kecil, Maluku, dan
lain-lain pulau kecil di antaranya, adalah satu kesatuan.”
Terhadap pernyataan itu, Bung Hatta tidak sepenuhnya sependapat,
terutama mengenai pendekatan geopolitik itu :[5]
“Teori geopolitik
sangat menarik, tetapi kebenarannya sangat terbatas. Kalau diterapkan kepada
Indonesia, maka Filipina harus dimasukkan ke daerah Indonesia dan Irian Barat
dilepaskan; demikian juga seluruh Kalimantan harus masuk Indonesia. Filipina
tidak saja serangkai dengan kepulauan kita.”
Menurut Hatta memang sulit memperoleh kriteria yang tepat apa yang
menentukan bangsa. Bangsa bukanlah didasarkan pada kesamaan asal, persamaan
bahasa, dan persamaan agama. Menurut Hatta “bangsa ditentukan oleh sebuah keinsyafan sebagai suatu
persekutuan yang tersusun jadi satu, yaitu keinsyafan yang terbit karena
percaya atas persamaan nasib dan tujuan. Keinsyafan yang bertambah besar oleh
karena sama seperuntungan, malang yang sama diderita, mujur yang sama didapat,
oleh karena jasa bersama, kesengsaraan bersama, pendeknya oleh karena
peringatan kepada riwayat bersama yang tertanam dalam hati dan otak.”[6]
Pengertian tentang rasa dan wawasan kebangsaan tersebut di atas
sebenarnya merupakan pandangan generik yang menjelaskan bahwa rasa dan wawasan
lahir dengan sendirinya di tengah ruang dan waktu seseorang dilahirkan. Tidak
salah bila pandangan generik itu mengemukakan pentingnya menumbuhkan semangat
kejuangan, rasa kebanggaan atas bumi dan tanah air dimana seseorang dilahirkan
dan sebagainya.
Wawasan kebangsaan merupakan jiwa, cita-cita, atau falsafah hidup
yang tidak lahir dengan sendirinya. Ia sesungguhnya merupakan hasil konstruksi
dari realitas sosial dan politik (sociallyand politicallyconstructed).[7]
Pidato Bung Karno atau perhatian Hatta mengenai wawasan kebangsaan adalah
bagian penting dari konstruksi elit politik terhadap bangunan citra (image)
bangsa Indonesia. Apa pun perbedaan pandangan elit tersebut, persepsi itu telah
membentuk kerangka berpikir masyarakat tentang wawasan kebangsaan.
Mengadopsi pemikiran Talcott Parsons[8]
mengenai teori sistem, wawasan
kebangsaan dapat dipandang sebagai suatu falsafah hidup yang berada pada
tataran sub-sistem budaya Dalam
tataran ini wawasan kebangsaan dipandang sebagai ‘way of life’ atau
merupakan kerangka/peta pengetahuan yang mendorong terwujudnya tingkah laku dan
digunakan sebagai acuan bagi seseorang untuk menghadapi dan menginterpretasi
lingkungannya. Jelaslah, bahwa wawasan kebangsaan tumbuh sesuai pengalaman yang
dialami oleh seseorang, dan pengalaman merupakan akumulasi dari proses tataran
sistem lainnya, yakni sub-sistem sosial, sub-sistem ekonomi, dan sub-sistem
politik.
Pada tataran sub-sistem sosial berlangsung suatu proses interaksi
sosial yang menghasilkan kohesi sosial yang kuat, hubungan antar individu,
antar kelompok dalam masyarakat yang harmonis. Integrasi dalam sistem sosial
yang terjadi akan sangat mewarnai dan mempengaruhi bagaimana sistem budaya
(ideologi/ falsafah/pandanngan hidup) dapat bekerja dengan semestinya.
Sub-sistem ekonomi dan sub-sistem politik mempunyai kaitan yang
sangat erat. Ada yang mengatakan bahwa paham kebangsaan Indonesia tidak
menempatkan bangsa kita di atas bangsa lain, tetapi menghargai harkat dan
martabat kemanusiaan serta hak dan kewajiban manusia. Paham kebangsaan berakar
pada asas kedaulatan yang berada di tangan rakyat. Oleh karena itu paham
kebangsaan sesungguhnya adalah paham demokrasi yang memiliki cita-cita keadilan
sosial, bersumber pada rasa keadilan dan menghendaki kesejahteraan bagi seluruh
rakyat.
Namun demikian sangat dipahami bahwa pembangunan ekonomi bukan
semata-mata proses ekonomi, tetapi suatu penjelamaan dari proses perubahan
politik dan sosial. Oleh karena itu keberhasilan pembangunan di bidang ekonomi
tidak dapat lepas dari keberhasilan pembangunan di bidang politik. Pada masa
kini kita menyaksikan betapa pembangunan ekonomi hanya dapat terjadi secara
bekelanjutan di atas landasan demokrasi.
Betapa bangsa yang menganut sistem politik totaliter, dengan atau tanpa
ideologi, atau dilandasi oleh ideologi apapun, tidak bisa mewujudkan
kesejahteraan dan tidak sanggup memelihara momentum kemajuan yang telah
dicapai. Sejarah membuktikan keikutsertaan rakyat dalam pengambilan keputusan
merupakan prasyarat bagi peningkatan kesejahteraan secara berkelanjutan.
Di sisi lain, ada pula yang mengatakan proses demokratisasi tidak
akan berlangsung dengan sendirinya tanpa faktor-faktor yang menkondisikannya.
Dalam hal ini tingkat kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh akan
menentukan kualitas demokrasi. Masyarakat yang belum terpenuhi kebutuhan
hidupnya yang paling mendasar akan sulit dibayangkan dapat ikut mempengaruhi
secara aktif proses perumusan kebijaksanaan pada tingkat mana pun, faktor
ekonomi sangat menentukan. Dengan demikian, tingkat partisipasi politik rakyat
sangat erat kaitannya dengan tingkat kemajuan ekonominya. Jalan menuju
demokrasi adalah pembangunan ekonomi, seperti juga jalan menuju pembangunan
ekonomi adalah demokrasi.
Ekonomi yang kuat yang
antara lain tercermin pada tingkat pendapatan per kapita dan tingkat
pertumbuhan yang tinggi belum
menjamin terwujudnya demokrasi yang sehat apabila struktur ekonomi pincang dan
sumber-sumber daya hanya terakumulasi pada sebagian sangat kecil anggota
masyarakat. Dengan demikian, upaya-upaya pemerataan pembangunan yang sekarang
diberikan perhatian khusus harus dipandang pula sebagai langkah strategis dalam
rangka pengejawantahan dari wawasan kebangsaan.
Dapat dipahami bila wawasan kebangsaan hanya tumbuh dan dapat
diwujudkan dengan energi yang diberikan oleh sub sistem lainnya. Sub-sistem
politik akan memberikan energi kepada bekerjanya sub-sistem ekonomi, untuk
kemudian memberikan energi bagi sub-sistem sosial dan pada akhirnya kepada
sub-sistem budaya. Sebaliknya, apabila sub-sistem budaya telah bekerja dengan
baik karena energi yang diberikan oleh sub-sistem lainnya, maka sub-sistem
budaya ini akan berfungsi sebagai pengendali (control) atau yang
mengatur dan memelihara kestabilan bekerjanya sub-sistem sosial. Begitu
seterusnya, sub-sistem sosial akan memberi kontrol terhadap sub-sistem ekonomi,
dan sub-sistem ekonomi akan bekerja sebagai pengatur bekerjanya sub-sistem
politik.
Hubungan timbal balik antara sub-sistem tersebut di atas oleh
Parsons disebut sebagai cybernetic
relationship.
|
|||
Dalam gambar di atas Sub-sistem Politik merupakan prasayarat atau
prakondisi bagi terciptanya atau bekerja sub-sistem ekonomi. Pada sub-sistem
politik, pencapain tujuan dilaksanakan melalui demokrasi yang mengedepankan
keseimbangan hak dan kewajiban warga negara, menghargai perbedaan dan
sebagainya. Di kalangan ilmu politik, tujuh kriteria Robert Dahl[9],
juga banyak dikenal, yaitu (1) pengawasan atas kebijaksanaan pemerintah
dilakukan secara konstitusional oleh wakil-wakil yang dipilih, (2) wakil-wakil
rakyat itu dipilih dalam pemilihan yang dilakukan secara jurdil dan tanpa
paksaan, (3) semua orang dewasa berhak memilih, (4) semua orang dewasa juga
berhak dipilih, (5) setiap warga negara berhak menyatakan pendapat mengenai masalah-masalah
politik tanpa ancaman hukuman, (6) setiap warganegara berhak memperoleh
sumber-sumber informasi alternatif, yang memang ada dan dilindungi oleh hukum,
dan (7) setiap warga negara berhak membentuk perkumpulan atau organisasi yang
relatif independen, termasuk partai politik dan kelompok kepentingan.
Tentu saja terdapat banyak ukuran lain, tetapi sebagai suatu ukuran
minimal kriteria Dahl tersebut mungkin cukup memadai untuk melihat
pengejawantahan demokrasi di Indonesia. Secara ringkas kriteria demokrasi
mungkin dapat dijelaskan sebagai berikut:[10]
“Kebebasan hukum
untuk merumuskan dan mendukung alternatif-alternatif politik dengan hak yang
sesuai untuk bebas berserikat, bebas berbicara, dan kebebasan-kebebasan dasar
lain bagi setiap orang; persaingan yang bebas dan antikekerasan di antara para
pemimpin dengan keabsahan periodik bagi mereka untuk memegang pemerintahan;
dimasukkannya seluruh jabatan politik yang efektif di dalam proses demokrasi;
dan hak untuk berperan serta bagi semua anggota masyarakat, apapun pilihan
politik mereka. Secara praktis itu berarti kebebasan untuk mendirikan partai
politik dan menyelenggarakan pemilihan umum yang bebas dan jujura dalam jangka
waktu tertentu tanpa menyingkirkan jabatan politis efektif apa pun dari akuntabilitas
pemilihan yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung.”
Ada pandangan yang mengatakan bahwa demokrasi di Indonsesia telah
hancur lebur sejak diterapkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang
Pemerintahan Desa. Penerapan aturan tersebut justru mematikan pranata-pranata
tradisional yang sudah ada yang sesungguhnya merupakan wahana demokrasi bagi
masyarakatnya. Hilangnya konsep nagari di Sumatera Barat atau otoritas adat di
dalam masyarakat di wilayah lainnya merupakan awal dari ‘kematian’ demokrasi.[11]
Terlepas dari pandangan di atas, sebagaimana dipahami, sistem
politik Indonesia dewasa ini sedang mengalami proses demokratisasi yang membawa
berbagai konsekuensi tidak hanya terhadap dinamika kehidupan politik nasional,
melainkan juga terhadap dinamika sistem-sistem lain yang menunjang
penyelenggaraan kehidupan kenegaraan.
Dalam suatu negara yang berdasarkan konstitusi sebagai dasar hukum,
maka antara sistem pemerintahan negara, sistem politik dan sistem perekonomian
saling berkaitan dan merupakan satu keterkaitan tentang pandangan hidup dan
falsafah dasar negara.
Berlangsungnya mekanisme dan budaya demokrasi pada sub sistem
politik akan memberikan dampak secara langsung bagaimana sub sistem ekonomi
berjalan. Bekerjanya sub sistem ekonomi ini secara signifikan akan memberikan
dampak pada peningkatan pendapatan.
Sebab utama dari kemiskinan adalah tingkat pendapatan yang rendah
dan menyebabkan terjadinya lingkaran setan. Pendapat yang rendah bukan hanya
mempengaruhi tingkat tabungan yang rendah, tetapi juga mempengaruhi tingkat
pendidikan, kesehatan yang rendah sehingga produktivitas sumberdaya juga
menjadi rendah. Pada gilirannya semuanya itu akan membawa akibat pada rendahnya
rendapatan masyarakat.
Peningkatan produktivitas dan investasi merupakan dua hal penting
bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Peningkatan produktivitas tergantung dari tingkat kesehatan
dan gizi serta tingkat pendidikan dan keterampilan yang dimiliki
masyarakat. Semua itu hanya dapat
dicapai apabila masyarakat mempunyai cukup pendapatan. Dengan tingkat
pendapatan yang meningkat, masyarakat dapat membelanjakan makanan yang bergizi
yang pada akhirnya akan mempengaruhi produktivitas kerja yang dapat
mempengaruhi pula tingkat pendapatan. Untuk lebih meningkatkan kesejahteraan
masyarakat diperlukan investasi yang cukup memadai sehingga secara nasional
diperlukan tingkat tabungan yang cukup untuk meningkatkan pendapatan per
kapita. Itulah mengapa perlu terus menerus diupayakan untuk meningkatkan
pendapatan, karena pendapatan yang tinggi akan memotong lingkaran setan
tersebut.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa pembangunan seharusnya
diartikan lebih dari sekedar memenuhi kebutuhan materi tetapi lebih merupakan
proses multidimensi yang meliputi perubahan organisasi dan orientasi dari
seluruh sistem sosial, politik, dan ekonomi. Untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, bukan hanya untuk menciptakan peningkatan produksi nasional riil,
tetapi juga harus ada perubahan pada kelembagaan, struktur administrasi,
perubahan sikap dan kebiasaan.
Di dalam kehidupan ekonomi nasional, sistem ekonomi Indonesia
berdasarkan pula pada demokrasi, yakni yang disebut sebagai demokrasi ekonomi.
Pengertian demokrasi ekonomi sesungguhnya mencerminkan kelanjutan hakikat dari
cara pandang integralistik dalam pemerintahan negara yang berdasarkan pada
demokrasi kemakmuran masyarakat yang diutamakan, bukan kemakmuran
orang-seorang.[13]
Dengan demikian, demokrasi ekonomi merupakan suatu bentuk penajaman
dari pesan politik kemerdekaan bangsa Indonesia. Dimensi politik ini harus
dipahami secara hati-hati untuk tetap dapat menghormati dan tidak mengabaikan
hak-hak rakyat sebagaimana kedaulatan rakyat menjadi dasar bagi pendirian
Republik Indonesia ini.[14]
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, sub-sistem politik dan
sus-sistem ekonomi merupakan prasyarat bagi bekerjanya sub-sistem sosial, yang
menjamin hubungan-hubungan sosial di dalam masyarakat menjadi lebih selaras.
Dengan demikian kualitas hubungan sosial ini akan memperkecil atau bahkan
meniadakan kemungkinan terjadinya konflik sosial.
Secara ringkas persamaan di atas dapat dijelaskan bahwa pertambahan
yang dapat dicapai pada pertumbuhan ekonomi sesungguhnya sangat tergantung pada
upaya pemberdayaan ekonomi dan interaksi antara peranan kelembagaan untuk
mengatasi konflik sosial yang terjadi. Peranan kelembagaan dapat dijelaskan
antara lain dengan eksistensi birokrasi yang bersih, bebas KKN, pranata hukum
yang berwibawa dengan penegakan hukum yang konsisten dan sebagainya. Sementara
itu, latent sosial conflik dapat dijelaskan antara lain dengan besarnya
ketidak-merataan (inequality) yang terjadi di dalam masyarakat. Di
samping itu pluralitas seperti beragamnya suku, budaya daerah, agama, dan
berbagai aspek politik lainnya, serta kondisi geografis negara kepulauan yang
tersebar, juga merupakan bagian dari latent sosial conflict.
IV. Perlunya Sosialisasi Wawasan Kebangsaan
Belajar dari pengalaman proses sosialisasi P4 yang dilakukan melalui
pendekatan penataran kiranya perlu ditinjau kembali apakah pendekatan itu
efektif bagi upaya sosialisasi Wawasan Kebangsaan. Berbagai pendekatan lain
secara teknis bisa dilakukan dengan cara yang lebih menggugah dan partisipatif,
antara lain dengan Focused Group Discussion (FGD), Out Bound
Orientation (OBO), Public Debate Simulation/Exercise, atau melalui
cara-cara yang lazim dikenal seperti lokakarya atau seminar yang sifatnya lebih
dua arah.
Di samping itu, upaya sosialisasi juga dapat dilakukan dengan
memanfaatkan kekuatan media massa termasuk kreatif ide dari professional di
bidangnya, dan melalui saluran-saluran pendidikan baik formal maupun informal,
serta diseminasi melalui pamflet, liflet, brosur dan sebagainya.
Dari segi substansi, sosialisasi dilaksanakan tidak secara langsung
membahas dan mendiskusikan paham wawasan kebangsaan, tetapi lebih kepada
isu-isu yang muncul terkait dengan proses demokratisasi, pemberdayaan ekonomi
rakyat, keselarasan sosial dan sebagainya yang pada akhirnya bermuara pada
kesepahaman mengenai wawasa kebangsaan itu sendiri.
V. Penutup
Dapat dimengerti bahwa dalam membangun sebuah wawasan pembangunan
ini diperlukan suatu “platform”, yakni yang dibangun adalah rakyat,
bangsa, dan negara. Dalam upaya itu, pembangunan ekonomi merupakan pendukung
atau ‘derivat’ dari pembangunan yang berorientasi pada rakyat, bangsa,
dan negara.
Daftar
Pustaka
Anderson,
Bennedict, Imagined Community : reflections on the Origin and Spread of
Nationalism, London: Verso, 1991.
Basari, Hasan /
Bernhard Dahm, Sukarno dan perjuangan kemerdekaan, Jakarta : LP3ES,
1987. Judul asli : Sukarno and the struggle for Indonesia
Dahl, Robert A., Dillemas of Pluralist
Democracy: Autonomy vs Control, Yale University Press, 1982
Durkheim, emile
(et.al.), Essay on Philosophy and Sociology, Harper Books, 1964.
Gonggong, Anhar
dalam “Diskusi Terbatas,” “Perspektif
Sejarah atas Demokrasi Indonesia,” 11 September 2002, di Bappenas,
oleh Direktorat Politik, Komunikasi dan Informasi.
Huntington,
Samuel P., Democracy’s Third Wave, dalam Journal of Democracy, Spring 1991.
Kartasasmita,
Ginandjar. “Pembangunan Nasional dan Wawasan Kebangsasn” Makalah disampaikan pada Sarasehan
Nasional Wawasan Kebangsaan di Jakarta, 9 Mei 1994.
Kunarjo, Perencanaan
dan Pembiayaan Pembangunan, Edisi. ke-3. Jakarta : UI Press, 1996.
Linz, Juan J. dan
Alfred Stepan, Mendefinisikan dan Membangun Demokrasi, dalam “Menjauhi
Demokrasi Kaum Pemnajah”, Ikrar Nusa Bhakti dan Riza Sihbudi (ed.),Bandung :
Mizan, 2001
Parsons, Talcott.
Toward a General Theory of action. New York : Harper & Row, 1951.
Sudarsono,
Juwono, (Ed.), Pembangunan Politik dan Perubahan Politik, Jakarta: Gramedia,
1981
Swasono, Sri-Edi
dan Fauzie Ridjal. Mohammad Hatta; beberapa pokok pikiran, Jakarta :
UI-Press, 1992.
Swasono, Sri-Edi,
Demokrasi Ekonomi: Komitmen dan Pembengunan Indonesia, Pidato Pengukuhan
Guru Besar Tetap dalam Ilmu Ekonomi pada Fakultas ekonomi Universitas Indonesia
di Jakarta pada tanggal 13 Juli 1988.
*) Otho H. Hadi, MA adalah Staf Direktorat Politik, Komunikasi, dan
Informasi Bappenas. Tulisan ini disusun dari hasil diskusi reguler Direktorat
Politik, Komunikasi, dan Informasi Bappenas-red.
[1] Hubungan Indonesia dengan
organisasi donor (IMF, CGI, World
Bank, ADB) dan negara-negara pemberi pinjaman (AS, Jepang, EU), sudah mendekati
hubungan antara “pengemis-pemberi sedekah.” Sikap dan perilaku demikian ini sangat bertentangan
dengan gagasan dasar berdirinya Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Sikap
ketergantungan yang terus-menerus atas bantuan asing (foreign assistance) sangat
bertentangan dengan konsep awal “nation and character building”.
[2]) Anhar Gonggong dalam
“Diskusi Terbatas,” “Perspektif
Sejarah atas Demokrasi Indonesia,” 11 September 2002, di Bappenas,
oleh Direktorat Politik, Komunikasi dan Informasi.
[3] Pandangan mengenai wawasan
kebangsaan ini dijelaskan secara generic oleh Ginandjar Kartasasmita dalam
makalahnya yang berjudul “Pembangunan Nasional dan Wawasan Kebangsasn”
yang disapaikan pada Sarasehan Nasional Wawasan Kebangsaan di Jakarta, 9 Mei
1994.
[4] Sukarno dan perjuangan
kemerdekaan, diterj.oleh: Hasan Basari / Bernhard Dahm, Hasan Basari.-- Jakarta :
LP3ES, 1987. Judul asli : Sukarno and the struggle for Indonesian
[5] Mohammad Hatta; beberapa
pokok pikiran, disunting oleh Sri-Edi Swasono dan Fauzie Ridjal / Sri-Edi
Swasono, Fauzie Ridjal.-- Jakarta : UI-Press, 1992.
[6] Loc cit.
[7] Bennedict
Anderson, Imagined Community : reflections on the Origin and Spread of
Nationalism, London: Verso, 1991.
[8] Parsons,
Talcott. Toward a General Theory of action. New York : Harper & Row,
1951.
[9] Robert A. Dahl, Dillemas of
Pluralist Democracy: Autonomy vs Control, Yale University Press, 1982, hal 10 –
11.
[10] Juan J. Linz dan Alfred
Stepan, Mendefinisikan dan Membangun Demokrasi, dalam Menjauhi Demokrasi Kaum
Pemnajah, Ikrar Nusa Bhakti dan Riza Sihbudi (ed.),Bandung : Mizan, 2001.
[11] Pandangan ini disampaikan
oleh Dr. Anhar Gonggong dalam Diskusi tentang Perspektif Sejarah Atas Demokrasi
di Indonesia yang diselenggarakan di Bappenas pada tanggal 11 September 2002.
[12] Kunarjo,
Perencanaan dan pembiayaan pembangunan, Edisi. ke-3. Jakarta : UI Press, 1996.
[13] Sri-Edi Swasono, Demokrasi
Ekonomi: Komitmen dan Pembengunan Indonesia, Pidato Pengukuhan Guru Besar
Tetap dalam Ilmu Ekonomi pada Fakultas ekonomi Universitas Indonesia di Jakarta
pada tanggal 13 Juli 1988.
[14] Loc.cit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar