1.
Pendahuluan
A.
Arti Penting Sumberdaya Manusia
Setiap manusia, sesuai
dengan kodratnya, masing-masing
memiliki karakteristik perilaku (pengetahuan, sikap dan ketrampilan) serta daya nalar dan
kreativitas yang tidak selalu sama dengan orang lainnya. Karaktersitik seperti
itu, akan sangat menentukan
kinerja dan produktivitasnya. Oleh
sebab itu, berbeda dengan sumberdaya yang lain yang relatif lebih mudah dan
cepat disediakan atau dibeli dengan uang, untuk memperoleh sumberdaya manusia
dengan kualifikasi tertentu seringkali memerlukan pendidikan dan mem-butuhkan
pengalaman-kerja selama bertahun-tahun.
Oleh sebab itu, dalam
teori manajemen, sumberdaya manusia merupakan sumberdaya yang memegang posisi strategis dalam setiap
pengelolaan kegiatan, sebab selain sebagai salah satu unsurnya, dia sekaligus
adalah pengelola sumberdaya yang lain.
B.
Arti Penting Penyuluhan Pertanian
Bertolak dari pengakuan
tentang peran penting sumberdaya manusia dalam pengelolaan setiap kegiatan, pembangunan
pertanian yang diarahkan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensinya,
sangat tergantung kepada mutu sumberdaya manusianya.
Tentang hal ini, kenyataan
menunjukkan bahwa, pelaku utama pembangunan pertanian di Indonesia adalah
petani-petani (pekebun, peternak, dan nelayan) kecil, yang tergolong pengusaha
lemah, yang tidak saja lemah permodalan atau aset yang dimilikinya, tetapi terutama
lemah dalam pendidikan, ketrampilan, teknologi yang digunakan, dan sering juga
lemah dalam semangatnya untuk maju (Hadisapoetro, 1970). Oleh sebab itu, berbeda dengan
pernyataan Mosher (1966) yang menyatakan bahwa penyuluhan pertanian hanya
sebagai “faktor pelancar”, pengalaman
di Indonesia menunjukkan bahwa kegiatan penyuluhan menjadi sangat mutlak,
sebagai pemicu sekaligus pemacu, atau yang lebih sering dikatakan sebagai
“ujung tombak” pembangunan pertanian (Mardikanto, 1993). Hanya saja, utamanya sejak bergulirnya
era reformasi melanda Indonesia pada awal 1998, peran penyuluhan yang dilakukan
pemerintah semakin menurun. Sebab,
sebagai ujung tombak, peran penyuluhan dangat ditentukan oleh “pemegang
tombaknya”.
Penyuluhan Pertanian
sebagai ilmu, ditandai oleh tulisan William Sewell berjudul: Suggestions for
the Extension of the University pada tahun 1850 (Ban dan Hawkins, 1985). Kemudian masuk ke Amerika pada awal
abad 20 ketika Cooperative Extension
Services mengembangkan Land Grant College. Tetapi, menurut sejarah
purbakala, kegiatan penyuluhan pertanian sudah dimulai di lembah Mesopotamia sekitar
1800 tahun sebelum Kristus (Saad, 1990), dan di China dimulai pada abad ke 6
SM, ditandai dengan catatan tertulis tentang teknik-teknik esensial dan
pertanian pada 535 SM pada masa Dinasti Han (Swanson et al, 1997).
Pada abad ke 2 SM sampai dengan abad ke 4 Masehi,
banyak dijumpai tulisan-tulisan berbahasa Latin, seringkali disertai dengan
gambar-gambar tentang pengalaman praktek bertani (White, 1977).
Mengutip True (1929), Swanson et al (1984)
mengemukakan bahwa akar kegiatan penyuluhan pertanian dapat ditelusuri
bersamaan dengan jaman Renaisans yang diawali sejak abad 14, yaitu sejak adanya
gerakan tentang pentingnya kaitan pendidikan dengan kebutuhan hidup manusia.
Pada 1304, Pietro de Crescenzi menulis buku teks
tentang pertanian dalam bahasa Latin yang kemudian banyak diterjemahkan dalam
bahasa Itali dan Perancis. Sejak
saat itu, kegiatan penulisan buku-buku pertanian semakin banyak
bermunculan.
Pada abad 17 dan 18, banyak ditulis pustaka tentang
pertanian di banyak negara Eropa. Di Inggris sendiri, sebelum tahun 1800
tercatat sekitar 200 penulis. Dan pada tahun 1784 di London terbit majalah
pertanian yang dipimpin Arthur Young, sebagai majalah yang tersebar luas di
Eropa dan Amerika. Pada pertengahan abad 18, banyak kalangan tuan-tanah (bangsawan)
progresif yang mengem-bangkan kegiatan penyuluhan pertanian melalui beragam
pertemuan, demonstrasi, perkumpulan pertanian, dimana terjadi pertukaran informasi antara pemilik-tanah
dengan para tokoh-petani. Hal ini
disebabkan karena:
1) Adanya keinginan belajar tentang bagaimana
mengembangkan produktivitas dan nilai produknya, serta sistem penyakapan dan
bagi-hasil yang perlu dikembangkan.
2) Adanya perkembangan ilmu
pengetahuan modern dalam bidang pertanian, khususnya penggunaan agrokimia dan
ilmu fisiologi-tanaman (Russell, 1966).
Kelahiran penyuluhan
pertanian modern, sebenarnya baru dimulai di Irlandia pada tahun 1847, yaitu
sejak terjadinya krisis penyakit tanaman kentang yang terjadi pada 1845-1851
(Jones, 1982). Modernisasi penyuluhan pertanian secara besar-besaran, justru
terjadi di Jerman pada akhir abad 19, yang kemudian menyebar ke Denmark, Swis,
Hungaria dan Rusia. Sementara itu,
Perancis tercatat sebagai negara yang untuk pertama kali mengembangkan
penyuluhan pertanian yang dibiayai negara sejak tahun 1879. Pada awal abad 20, kegiatan penyuluhan
pertanian umumnya masih dilakukan dengan skala kecil-kecil baik yang
diorganisir oleh lembaga/instansi pemerin-tah maupun perguruan tinggi. Tetapi, seiring dengan perkembangan-nya,
organisasi penyuluhan pertanian tumbuh semakin kompleks dan semakin birokratis.
Kelahiran penyuluhan
pertanian ”modern” disebabkan oleh
beberapa kondisi yang diperlukan bagi kelahiran penyuluhan pertanian,,
yang ditandai oleh (Swanson et
al, 1997):
1) Adanya praktek-praktek baru dan temuan-temuan penelitian
2) Kebutuhan tentang pentingnya informasi untuk diajarkan
kepada petani
3) Tekanan terhadap perlunya organisasi penyuluhan
4) Ditetapkannya kebijakan penyuluhan
5) Adanya masalah-masalah yang dihadapi di lapangan
Pada perkembangan terakhir, dewasa ini penyuluhan
pertanian telah diakui sebagai suatu sistem penyampaian informasi dan pemberian
nasehat penggunaan input dalam pertanian modern.
D. Sejarah Penyuluhan Pertanian Di Indonesia
Banyak kalangan yang
menyebut kelahiran penyuluhan pertanian di Indonesia bersamaan dengan
dibangunnya Kebun Raya Bogor pada 1817.
Tetapi almarhum Prof. Iso Hadiprodjo keberatan, dan menun-juk tahun 1905
bersamaan dengan dibukanya Departemen Pertanian, yang antara lain memiliki
tugas melaksanakan kegiatan penyuluhan pertanian sebagai awal kegiatan
penyuluhan pertanian di Indonesia.
Hal ini disebabkan,
karena kegiatan “penyuluhan” sebelum 1905 lebih berupa pemaksaan-pemaksaan yang
dilakukan dalam rangka pelaksanaan “tanam-paksa” atau cultuurstelsel.
Meskipun kegiatan
penyuluhan pertanian di Indonesia telah berlang-sung lebih dari seabad, tetapi
kehadirannya sebagai ilmu tersendiri baru dilakukan sejak dasawarsa 60’an yang
dikenalkan melalui Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPMA). Tulisan-tulisan
tentang penyuluhan pertanian, masih ditulis dalam bentuk booklet yang
diterbitkan oleh Departemen Pertanian, yang antara lain ditulis oleh:
Hasmosoewignyo Arifin Mukadas, dan Sukandar Wiriatmadja. Sedang buku teks tentang penyuluhan
yang pertama kali, ditulis oleh Soejitno pada tahun 1968.
Di lingkungan perguruan
tinggi, ilmu penyuluhan pertanian baru dikembangkan sejak 1976 bersamaan dengan
dibukanya jurusan Penyuluhan Pertanian di Sekolah Pasca Sarjana IPB. Sedang
untuk program S1, program studi penyuluhan dan komunikasi pertanian baru dibuka
sejak diberlakukannya Kurikulum Nasional pada 1998. Sebelum itu, (di Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada)
ilmu penyuluhan pertanian diajarkan dalam mata-kuliah Paedagogiek Penyuluhan
Pertanian.
Di masa kemerdekaan,
kegiatan penyuluhan pertanian telah dimulai sejak awal ditandai dengan
dibentuknya Balai Pendidikan Masyarakat Desa (BPMD) pada tahun 1949 yang semakin diintensifkan pada awal Revolusi
Hijau pada masa Padi Sentra. Memasuki era pelak-sanaan BIMAS di tahun 1967, penyuluhan pertanian memasukkan
perguruan tinggi sebagai bagian organik dari organisasi BIMAS sejak di tingkat
Kabupaten, Propinsi, dan Pusat.
Pada tahun 1984,
penyuluhan pertanian di Indonesia melalui proyek penyuluhan pertanian tanaman
pangan (National Food Crps Extens-ion
Project) meraih masa kejayaanya yang ditandai dengan pem-berian penghargaan
FAO atas keberhasilannya mencapai swa-sembada beras.
Memasuki dasawarsa 1990-an
semakin dirasakan menurunnya ”pamor” penyuluhan pertanian yang dikelola oleh
pemerintah (Departemen Pertanian).
Hal ini terjadi, tidak saja karena perubahan struktur organisasi
penyuluhan, tetapi juga semakin banyaknya pihak yang melakukan penyuluhan
pertanian (perguruan tinggi, produsen sarana produksi dan LSM), serta semakin
beragam dan mudahnya sumber-sumber informasi/inovasi yang dapat diakses oleh
masyarakat (petani).
Pada tahun 1995, terjadi
perubahan struktur kelembagaan penyuluhan pertanian melalui pembentukan Balai
Informasi Penyuluhan Pertanian (BIPP) di setiap Kabupaten. Sayangnya, kinerja
lembaga ini banyak dikritik karena kurangnya koordinasi dengan Dinas-teknis
terkait. Kondisi seperti itu semakin diperburuk oleh bergulirnya era reformasi
yang berakibat pada tidak meratanya perhatian pemerintah Kabupaten terhadap
kegiatan penyuluhan pertanian.
Mencermati keadaan
seperti itu, sebagai tindak lanjut kebijakan Revitalisasi Pertanian, Perikanan
dan Kehutanan (RPPK) yang dicanangkan pada tanggal 15 Juni 2005 di Purwakarta,
pada tanggal 15 Nopember 2006 berhasil diundangkan Undang-undang Sistem
Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan yang diharapkan dapat memberikan
landasan: kebijakan, program, kelembagaan, kete-nagaan, penyelenggaraan,
pembiayaan, dan pengawasan penyuluhan pertanian.
E. Sistem Penyuluhan Pertanian
Percakapan tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, selama ini
belum banyak dilakukan, bahkan istilah Sistem Penyuluhan Pertanian itu sendiri
nampaknya mulai banyak disebut oleh banyak kalangan sejak diundangkannya Undang
Undang No. 16 Tahun 2006 Tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan
Kehutanan pada tanggal 15 Nopember 2006.
Dalam Undang-undang
tersebut, pengertian sistem penyuluhan mencakup: kebijakan, kelembagaan,
ketenagaan, penyelenggaraan, pembiayaan, pengawasan dan pengendalian penyuluhan
pertanian
Istilah ”sistem” itu sendiri, berasal dari bahasa Yunani
”systema” yaitu suatu kesatuan dari
bagian atau komponen yang berhubungan secara teratur. Jadi, dalam kata sistem
terkandung empat pokok pikiran
tentang: kesatuan, bagian, berhubungan dan teratur.
Terkait dengan pemahaman
ini, Chuschman (1968) dan Awad (1969) mengartikan sistem sebagai: sekumpulan unsur yang mempunyai fungsi dan
bergerak dalam ketergantungan untuk mencapai tujuan bersama sekaligus tujuan
masing-masing. Di pihak lain Tjitropranoto (1990) mengartikannya sebagai; ”suatu unit yang saling tergantung, saling
berhubungan (baik formal maupun informal), saling meleng-kapi kegiatan dan
hasil kegiatan, saling membantu dalam batas kemampuan masing-masing dan saling
menuju pada tingkatan yang terkoordinasi, terintegrasi dan sinkronisasi.
Dalam hubungan ini, keberadaan
suatu sistem dapat dikenali melalui terstrukturnya kebersamaan dan
ketergantungan antara fungsi-fungsi terkait dalam mencapai tujuan masing-masing
dan tujuan bersama (Shaner et al,
1981).
Sebagai suatu
proses, Harjosarosa (1981)
menyatakan bahwa sebuah sistem terdiri dari unsur-unsur yang disebut
sub-sistem, yang meliputi: input, proses,
output (hasil), dan outcome
(dampak, man-faat). Dalam hubungan
ini, kegiatan penyuluhan pertanian sebagai proses perubahan perilaku melalui
pendidikan, dapat dipandang sebagai suatu sistem yang oleh Jiyono (1971) diuraikan
seperti tersebut dalam Gambar 1.
Gambar 1. Sistem Penyuluhan
Pertanian
Sebagai Proses Pendidikan
Tentang hal ini, dalam
kegiatan penyuluhan pertanian, yang dimaksud dengan:
1) Bahan baku, adalah (calon) penerima manfaat yang terdiri dari semua
pemangku kepentingan (stakeholders)
kegiatan penyuluhan pertanian, seperti: petani dan keluarganya, tokoh
masyarakat, pelaku bisnis (pengadaan sarana produksi, peralatan dan mesin
pertanian, pengolahan hasil dan aneka jasa yang lain, serta aparat pemerintah
dan para penyuluhnya sendiri.
2) Input instrumental, yang mencakup penyuluh atau
fasilitator, materi penyuluhan, perlengkapan penyuluhan, dan programa penyuluhan.
3) Input lingkungan, baik lingkungan fisik, sarana
prasarana, kelembagaan, dan lingkungan sosial di tempat penyelenggaraan penyuluhan
maupun lingkungan asal penerima manfaat penyu-luhan,
4) Proses, yang merupakan keseluruhan kegiatan penyelenggaraan penyuluhan,
5) Hasil, yang berupa perubahan perilaku penerima manfaat, sedang
6) Dampak dan manfaat, yaitu semua dampak dan manfaat
kegiatan penyuluhan, yang berupa perubahan ekonomi, sosial, politik maupun lingkungan fisik
penerima manfaat seperti: kenaikan produksi dan pendapatan, perbaikan dan
efektivitas kelembagaan, perbaikan dan pelestarian sumberdaya-alam dan
lingkungan hidup, kepastian hukum, perbaikan indek mutu hidup, mening-katnya
kemandirian, dll.
Proses penyuluhan
pertanian, oleh Lionberger dan Gwin (1991) juga dipandang sebagai suatu proses
alih-teknologi (technology transfer).
Di dalam proses alih-teknologi,
terdapat beragam fungsi, yang mencakup: pengelolaan kebijakan, modal usaha,
penelitian dan pengembangan dan penyuluhan (Jedlicka, 1977). Selain itu, juga
dibutuhkan fungsi penelitian, penyuluhan dan penggunaan inovasi (Havelock,
1969; Maunder, 1978; dan Tjitropranoto, 1990).
Lionberger dan Gwin
(1982) menambahkan pentingnya fungsi pelayanan, dan Mubyarto (1983) menyebut
pentingnya pengaturan dan koordinasi, sedang Korten dan Klaus (van den Ban,
1983) menambahkan pentingnya fungsi produksi dan fungsi pemasaran.
Karena itu, sistem
penyuluhan pertanian sebagai proses alih teknologi dapat disampaikan
sebagaimana tersebut dalam Gambar 2.
Dalam praktek, kegiatan
penyuluhan pertanian, dapat dilihat sebagai bagian atau sub-sistem penyuluhan
pembangunan dalam arti luas. Ini
berarti bahwa, kegiatan penyuluhan pertanian perlu dipadukan dan diselaraskan
dengan kegiatan penyuluhan pembangunan yang lain, seperti: penyuluhan
kehutanan, penyuluhan perikanan, penyuluhan kesehatan dan gizi, keluarga
berencana, koperasi, transmigrasi, dll.
Hal ini perlu dipahami
oleh semua pemangku kepentingan penyuluhan pembangunan, karena menurut catatan
Sutadi (1990), di tingkat perdesaan terdapat tidak kurang dari 13 jenis
kegiatan penyuluhan. Sehingga, jika tidak dapat dikoordinasikan dengan baik
akan memunculkan masalah sebagaimana yang pada 40 tahun yang lalu telah dikhawatirkan
oleh Soejitno (1968):
”kita mengetahui,
bahwa pada waktu ini tiap-tiap bagian Depar-temen Pertanian mempnyai
”Bagian Penyuluhan” sendiri-sendiri, masing-masing dengan kaum tani ata
masyarakat desa sebagai sasaran aktivitasnya.
Kala ditambah dengan
penyuluhan-penyuluhan yang ditujukan kepada petani/ masyarakat desa oleh lain2
instansi terkait di luar Departemen Pertanian, maka nampaknya seolah-olah
masyarakat desa/petani menjadi ”medan pertempuran” untuk bermacam-macam
instansi penyuluhan tadi. Maka dari itu, tidaklah mengherankan bahwa sering
terdengar suara dari desa, bahwa kaum tani menjadi bingung.
pengaturan
`
`
pelayanan
Gambar 2. Sistem Penyuluhan
Pertanian
Sebagai Proses Alih Teknologi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar