perpustakaan online

Rabu, 14 Desember 2011

Tentang Pengertian dan Pembahasan Penyuluhan




1.
Pendahuluan


A.             Arti Penting Sumberdaya Manusia

Setiap manusia, sesuai dengan kodratnya,  masing-masing memiliki karakteristik perilaku  (pengetahuan, sikap dan ketrampilan) serta daya nalar dan kreativitas yang tidak selalu sama dengan orang lainnya. Karaktersitik seperti itu,  akan sangat menentukan kinerja dan produktivitasnya.  Oleh sebab itu, berbeda dengan sumberdaya yang lain yang relatif lebih mudah dan cepat disediakan atau dibeli dengan uang, untuk memperoleh sumberdaya manusia dengan kualifikasi tertentu seringkali memerlukan pendidikan dan mem-butuhkan pengalaman-kerja selama bertahun-tahun.   
Oleh sebab itu, dalam teori manajemen, sumberdaya manusia merupakan sumberdaya yang  memegang posisi strategis dalam setiap pengelolaan kegiatan, sebab selain sebagai salah satu unsurnya, dia sekaligus adalah pengelola sumberdaya yang lain. 

B.             Arti Penting Penyuluhan Pertanian

Bertolak dari pengakuan tentang peran penting sumberdaya manusia dalam pengelolaan setiap kegiatan, pembangunan pertanian yang diarahkan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensinya, sangat tergantung kepada mutu sumberdaya manusianya.
Tentang hal ini, kenyataan menunjukkan bahwa, pelaku utama pembangunan pertanian di Indonesia adalah petani-petani (pekebun, peternak, dan nelayan) kecil, yang tergolong pengusaha lemah, yang tidak saja lemah permodalan atau aset yang dimilikinya, tetapi terutama lemah dalam pendidikan, ketrampilan, teknologi yang digunakan, dan sering juga lemah dalam semangatnya untuk maju (Hadisapoetro, 1970).  Oleh sebab itu, berbeda dengan pernyataan Mosher (1966) yang menyatakan bahwa penyuluhan pertanian hanya sebagai “faktor pelancar”, pengalaman di Indonesia menunjukkan bahwa kegiatan penyuluhan menjadi sangat mutlak, sebagai pemicu sekaligus pemacu, atau yang lebih sering dikatakan sebagai “ujung tombak” pembangunan pertanian (Mardikanto, 1993).  Hanya saja, utamanya sejak bergulirnya era reformasi melanda Indonesia pada awal 1998, peran penyuluhan yang dilakukan pemerintah semakin menurun.  Sebab, sebagai ujung tombak, peran penyuluhan dangat ditentukan oleh “pemegang tombaknya”.

C. Sejarah Penyuluhan Pertanian Di Dunia

Penyuluhan Pertanian sebagai ilmu, ditandai oleh tulisan William Sewell berjudul: Suggestions for the Extension of the University pada tahun 1850 (Ban dan Hawkins, 1985).  Kemudian masuk ke Amerika pada awal abad 20 ketika Cooperative Extension Services mengembangkan Land Grant College. Tetapi, menurut sejarah purbakala, kegiatan penyuluhan pertanian sudah dimulai di lembah Mesopotamia sekitar 1800 tahun sebelum Kristus (Saad, 1990), dan di China dimulai pada abad ke 6 SM, ditandai dengan catatan tertulis tentang teknik-teknik esensial dan pertanian pada 535 SM pada masa Dinasti Han (Swanson et al, 1997).  
Pada abad ke 2 SM sampai dengan abad ke 4 Masehi, banyak dijumpai tulisan-tulisan berbahasa Latin, seringkali disertai dengan gambar-gambar tentang pengalaman praktek bertani (White, 1977).

Mengutip True (1929), Swanson et al (1984) mengemukakan bahwa akar kegiatan penyuluhan pertanian dapat ditelusuri bersamaan dengan jaman Renaisans yang diawali sejak abad 14, yaitu sejak adanya gerakan tentang pentingnya kaitan pendidikan dengan kebutuhan hidup manusia.
Pada 1304, Pietro de Crescenzi menulis buku teks tentang pertanian dalam bahasa Latin yang kemudian banyak diterjemahkan dalam bahasa Itali dan Perancis.  Sejak saat itu, kegiatan penulisan buku-buku pertanian semakin banyak bermunculan. 

Pada abad 17 dan 18, banyak ditulis pustaka tentang pertanian di banyak negara Eropa. Di Inggris sendiri, sebelum tahun 1800 tercatat sekitar 200 penulis. Dan pada tahun 1784 di London terbit majalah pertanian yang dipimpin Arthur Young, sebagai majalah yang tersebar luas di Eropa dan Amerika. Pada pertengahan abad 18, banyak kalangan tuan-tanah (bangsawan) progresif yang mengem-bangkan kegiatan penyuluhan pertanian melalui beragam pertemuan, demonstrasi, perkumpulan pertanian,  dimana terjadi pertukaran informasi antara pemilik-tanah dengan para tokoh-petani.  Hal ini disebabkan karena:

1)    Adanya keinginan belajar tentang bagaimana mengembangkan produktivitas dan nilai produknya, serta sistem penyakapan dan bagi-hasil yang perlu dikembangkan.
2)    Adanya perkembangan ilmu pengetahuan modern dalam bidang pertanian, khususnya penggunaan agrokimia dan ilmu fisiologi-tanaman (Russell, 1966).

Kelahiran penyuluhan pertanian modern, sebenarnya baru dimulai di Irlandia pada tahun 1847, yaitu sejak terjadinya krisis penyakit tanaman kentang yang terjadi pada 1845-1851 (Jones, 1982). Modernisasi penyuluhan pertanian secara besar-besaran, justru terjadi di Jerman pada akhir abad 19, yang kemudian menyebar ke Denmark, Swis, Hungaria dan Rusia.  Sementara itu, Perancis tercatat sebagai negara yang untuk pertama kali mengembangkan penyuluhan pertanian yang dibiayai negara sejak tahun 1879.  Pada awal abad 20, kegiatan penyuluhan pertanian umumnya masih dilakukan dengan skala kecil-kecil baik yang diorganisir oleh lembaga/instansi pemerin-tah maupun perguruan tinggi.  Tetapi, seiring dengan perkembangan-nya, organisasi penyuluhan pertanian tumbuh semakin kompleks dan semakin birokratis.
Kelahiran penyuluhan pertanian ”modern”  disebabkan oleh beberapa kondisi yang diperlukan bagi kelahiran penyuluhan pertanian,, yang  ditandai oleh (Swanson et al, 1997):

1)    Adanya praktek-praktek baru dan temuan-temuan penelitian
2)    Kebutuhan tentang pentingnya informasi untuk diajarkan kepada petani
3)    Tekanan terhadap perlunya organisasi penyuluhan
4)    Ditetapkannya kebijakan penyuluhan
5)    Adanya masalah-masalah yang dihadapi di lapangan

Pada perkembangan terakhir, dewasa ini penyuluhan pertanian telah diakui sebagai suatu sistem penyampaian informasi dan pemberian nasehat penggunaan input dalam pertanian modern.

D. Sejarah Penyuluhan Pertanian Di Indonesia

Banyak kalangan yang menyebut kelahiran penyuluhan pertanian di Indonesia bersamaan dengan dibangunnya Kebun Raya Bogor pada 1817.  Tetapi almarhum Prof. Iso Hadiprodjo keberatan, dan menun-juk tahun 1905 bersamaan dengan dibukanya Departemen Pertanian, yang antara lain memiliki tugas melaksanakan kegiatan penyuluhan pertanian sebagai awal kegiatan penyuluhan pertanian di Indonesia.
Hal ini disebabkan, karena kegiatan “penyuluhan” sebelum 1905 lebih berupa pemaksaan-pemaksaan yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan “tanam-paksa” atau cultuurstelsel.

Meskipun kegiatan penyuluhan pertanian di Indonesia telah berlang-sung lebih dari seabad, tetapi kehadirannya sebagai ilmu tersendiri baru dilakukan sejak dasawarsa 60’an yang dikenalkan melalui Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPMA). Tulisan-tulisan tentang penyuluhan pertanian, masih ditulis dalam bentuk booklet yang diterbitkan oleh Departemen Pertanian, yang antara lain ditulis oleh: Hasmosoewignyo Arifin Mukadas, dan Sukandar Wiriatmadja.  Sedang buku teks tentang penyuluhan yang pertama kali, ditulis oleh Soejitno pada tahun 1968.
Di lingkungan perguruan tinggi, ilmu penyuluhan pertanian baru dikembangkan sejak 1976 bersamaan dengan dibukanya jurusan Penyuluhan Pertanian di Sekolah Pasca Sarjana IPB. Sedang untuk program S1, program studi penyuluhan dan komunikasi pertanian baru dibuka sejak diberlakukannya Kurikulum Nasional pada 1998.  Sebelum itu, (di Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada) ilmu penyuluhan pertanian diajarkan dalam mata-kuliah Paedagogiek Penyuluhan Pertanian.

Di masa kemerdekaan, kegiatan penyuluhan pertanian telah dimulai sejak awal ditandai dengan dibentuknya Balai Pendidikan Masyarakat Desa (BPMD)  pada tahun 1949 yang semakin diintensifkan pada awal Revolusi Hijau pada masa Padi Sentra. Memasuki era pelak-sanaan BIMAS di tahun 1967,  penyuluhan pertanian memasukkan perguruan tinggi sebagai bagian organik dari organisasi BIMAS sejak di tingkat Kabupaten, Propinsi, dan Pusat.
Pada tahun 1984, penyuluhan pertanian di Indonesia melalui proyek penyuluhan pertanian tanaman pangan (National Food Crps Extens-ion Project) meraih masa kejayaanya yang ditandai dengan pem-berian penghargaan FAO atas keberhasilannya mencapai swa-sembada beras.

Memasuki dasawarsa 1990-an semakin dirasakan menurunnya ”pamor” penyuluhan pertanian yang dikelola oleh pemerintah (Departemen Pertanian).  Hal ini terjadi, tidak saja karena perubahan struktur organisasi penyuluhan, tetapi juga semakin banyaknya pihak yang melakukan penyuluhan pertanian (perguruan tinggi, produsen sarana produksi dan LSM), serta semakin beragam dan mudahnya sumber-sumber informasi/inovasi yang dapat diakses oleh masyarakat (petani).
Pada tahun 1995, terjadi perubahan struktur kelembagaan penyuluhan pertanian melalui pembentukan Balai Informasi Penyuluhan Pertanian (BIPP) di setiap Kabupaten. Sayangnya, kinerja lembaga ini banyak dikritik karena kurangnya koordinasi dengan Dinas-teknis terkait. Kondisi seperti itu semakin diperburuk oleh bergulirnya era reformasi yang berakibat pada tidak meratanya perhatian pemerintah Kabupaten terhadap kegiatan penyuluhan pertanian.
Mencermati keadaan seperti itu, sebagai tindak lanjut kebijakan Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) yang dicanangkan pada tanggal 15 Juni 2005 di Purwakarta, pada tanggal 15 Nopember 2006 berhasil diundangkan Undang-undang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan yang diharapkan dapat memberikan landasan: kebijakan, program, kelembagaan, kete-nagaan, penyelenggaraan, pembiayaan, dan pengawasan penyuluhan pertanian.

E. Sistem Penyuluhan Pertanian

Percakapan tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, selama ini belum banyak dilakukan, bahkan istilah Sistem Penyuluhan Pertanian itu sendiri nampaknya mulai banyak disebut oleh banyak kalangan sejak diundangkannya Undang Undang No. 16 Tahun 2006 Tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan pada tanggal 15 Nopember 2006.
Dalam Undang-undang tersebut, pengertian sistem penyuluhan mencakup: kebijakan, kelembagaan, ketenagaan, penyelenggaraan, pembiayaan, pengawasan dan pengendalian penyuluhan pertanian

Istilah ”sistem”  itu sendiri, berasal dari bahasa Yunani ”systema” yaitu suatu kesatuan dari bagian atau komponen yang berhubungan secara teratur. Jadi, dalam kata sistem terkandung  empat pokok pikiran tentang: kesatuan, bagian, berhubungan dan teratur.
Terkait dengan pemahaman ini, Chuschman (1968) dan Awad (1969) mengartikan sistem sebagai: sekumpulan unsur yang mempunyai fungsi dan bergerak dalam ketergantungan untuk mencapai tujuan bersama sekaligus tujuan masing-masing. Di pihak lain Tjitropranoto (1990) mengartikannya sebagai; ”suatu unit yang saling tergantung, saling berhubungan (baik formal maupun informal), saling meleng-kapi kegiatan dan hasil kegiatan, saling membantu dalam batas kemampuan masing-masing dan saling menuju pada tingkatan yang terkoordinasi, terintegrasi dan sinkronisasi.
Dalam hubungan ini, keberadaan suatu sistem dapat dikenali melalui terstrukturnya kebersamaan dan ketergantungan antara fungsi-fungsi terkait dalam mencapai tujuan masing-masing dan tujuan bersama (Shaner et al, 1981).
Sebagai suatu proses,  Harjosarosa (1981) menyatakan bahwa sebuah sistem terdiri dari unsur-unsur yang disebut sub-sistem, yang meliputi: input, proses, output (hasil), dan outcome (dampak, man-faat).  Dalam hubungan ini, kegiatan penyuluhan pertanian sebagai proses perubahan perilaku melalui pendidikan, dapat dipandang sebagai suatu sistem yang oleh Jiyono (1971) diuraikan seperti tersebut dalam Gambar 1.




 














Gambar 1. Sistem Penyuluhan Pertanian
Sebagai Proses Pendidikan


Tentang hal ini, dalam kegiatan penyuluhan pertanian, yang dimaksud dengan:

1)    Bahan baku, adalah (calon) penerima manfaat yang terdiri dari semua pemangku kepentingan (stakeholders) kegiatan penyuluhan pertanian, seperti: petani dan keluarganya, tokoh masyarakat, pelaku bisnis (pengadaan sarana produksi, peralatan dan mesin pertanian, pengolahan hasil dan aneka jasa yang lain, serta aparat pemerintah dan para penyuluhnya sendiri.
2)    Input instrumental, yang mencakup penyuluh atau fasilitator, materi penyuluhan, perlengkapan penyuluhan, dan programa penyuluhan.
3)    Input lingkungan, baik lingkungan fisik, sarana prasarana, kelembagaan, dan lingkungan sosial di tempat penyelenggaraan penyuluhan maupun lingkungan asal penerima manfaat penyu-luhan,
4)    Proses, yang merupakan keseluruhan kegiatan penyelenggaraan penyuluhan,
5)    Hasil, yang berupa perubahan perilaku penerima manfaat, sedang
6)    Dampak dan manfaat, yaitu semua dampak dan manfaat kegiatan penyuluhan, yang berupa perubahan ekonomi, sosial,  politik maupun lingkungan fisik penerima manfaat seperti: kenaikan produksi dan pendapatan, perbaikan dan efektivitas kelembagaan, perbaikan dan pelestarian sumberdaya-alam dan lingkungan hidup, kepastian hukum, perbaikan indek mutu hidup, mening-katnya kemandirian, dll.

Proses penyuluhan pertanian, oleh Lionberger dan Gwin (1991) juga dipandang sebagai suatu proses alih-teknologi (technology transfer).
Di dalam proses alih-teknologi, terdapat beragam fungsi, yang mencakup: pengelolaan kebijakan, modal usaha, penelitian dan pengembangan dan penyuluhan (Jedlicka, 1977). Selain itu, juga dibutuhkan fungsi penelitian, penyuluhan dan penggunaan inovasi (Havelock, 1969; Maunder, 1978; dan Tjitropranoto, 1990).
Lionberger dan Gwin (1982) menambahkan pentingnya fungsi pelayanan, dan Mubyarto (1983) menyebut pentingnya pengaturan dan koordinasi, sedang Korten dan Klaus (van den Ban, 1983) menambahkan pentingnya fungsi produksi dan fungsi pemasaran.
Karena itu, sistem penyuluhan pertanian sebagai proses alih teknologi dapat disampaikan sebagaimana tersebut dalam Gambar 2.

Dalam praktek, kegiatan penyuluhan pertanian, dapat dilihat sebagai bagian atau sub-sistem penyuluhan pembangunan dalam arti luas.  Ini berarti bahwa, kegiatan penyuluhan pertanian perlu dipadukan dan diselaraskan dengan kegiatan penyuluhan pembangunan yang lain, seperti: penyuluhan kehutanan, penyuluhan perikanan, penyuluhan kesehatan dan gizi, keluarga berencana, koperasi, transmigrasi, dll.
Hal ini perlu dipahami oleh semua pemangku kepentingan penyuluhan pembangunan, karena menurut catatan Sutadi (1990), di tingkat perdesaan terdapat tidak kurang dari 13 jenis kegiatan penyuluhan. Sehingga, jika tidak dapat dikoordinasikan dengan baik akan memunculkan masalah sebagaimana yang pada 40 tahun yang lalu telah dikhawatirkan oleh Soejitno (1968):



kita mengetahui,  bahwa pada waktu ini tiap-tiap bagian Depar-temen Pertanian mempnyai ”Bagian Penyuluhan” sendiri-sendiri, masing-masing dengan kaum tani ata masyarakat desa sebagai sasaran aktivitasnya.
Kala ditambah dengan penyuluhan-penyuluhan yang ditujukan kepada petani/ masyarakat desa oleh lain2 instansi terkait di luar Departemen Pertanian, maka nampaknya seolah-olah masyarakat desa/petani menjadi ”medan pertempuran” untuk bermacam-macam instansi penyuluhan tadi. Maka dari itu, tidaklah mengherankan bahwa sering terdengar suara dari desa, bahwa kaum tani menjadi bingung.




Oval:
 
                              
                              pengaturan








 









`








 



`

                                 pelayanan



Gambar 2. Sistem Penyuluhan Pertanian
Sebagai Proses Alih Teknologi





Tidak ada komentar:

Posting Komentar