perpustakaan online

Rabu, 14 Desember 2011

Kedudukan, Peran, Tujuan, Dan Lingkup Kegiatan


3.
Kedudukan, Peran, Tujuan,
Dan Lingkup Kegiatan


A. Kedudukan Penyuluhan Pertanian

Berbicara tentang kedudukan penyuluhan, Timmer (1983) dengan tepat menyebutnya sebagai “perantara” atau jembatan penghubung, yaitu penguhubung antara (Gambar 5):

1)    Teori dan praktek, terutama bagi kelompok sasaran (penerima manfaat) yang belum memahami “bahasa ilmu pengetahuan/tek-nologi”.
2)    Pengalaman dan kebutuhan, yaitu antar dua kelompok yang setara seperti sesama praktisi, sesama tokoh masyarakat, dll.
3)    Penguasa dan masyarakat, terutama yang menyangkut pemecahan masalah dan atau kebijakan-kebijakan pembangunan.
4)    Produsen dan pelanggan, terutama menyangkut produk-produk (sarana produksi, mesin/peralatan, dll.
5)    Sumber informasi dan penggunanya, terutama terhadap masyara-kat yang relatif masih tertutup atau kurang memiliki aksesibilitas terhadap informasi.
6)    Antar sesama stakeholder agribisnis, dalam pengembangan jeja-ring dan kemitraan-kerja, terutama dalam pertukaran informasi.
7)    Antara masyarakat (di dalam) dan “pihak luar”, kaitannya dengan kegiatan agribisnis dan atau pengembangan masyarakat dalam arti yang lebih luas.

Berkaitan dengan pemahaman tersebut, Lionberger (1983, 1991) meletakkan penyuluhan sebagai “variabel antara” (interviening variable), dalam pembangunan (pertanian) yang bertujuan untuk memperbaiki kesejahteraan petani dan masyarakatnya (Gambar 6).  Dalam posisi seperti itu, kegagalan pembangunan pertanian untuk memperbaiki kesejahteraan petani bukan semata-mata disebabkan oleh lemah atau rendahnya mutu/kinerja penyuluhan. 










Gambar 5.  Kedudukan Penyuluhan Dalam Pembangunan Pertanian


Sebaliknya, keberhasilan pembangunan pertanian dalam memperbaiki kesejahteraan petani, tidak dapat dikatakan bahwa hal itu disebabkan ”hanya” oleh baik atau tingginya mutu/kinerja penyuluhan. Sebagai “variabel antara” (Lionberger, 1983):, kegiatan penyuluhan berperan sebagai jembatan dalam proses (Gambar 6); 

1)    Distribusi informasi/inovasi, baik dari sumber (peneliti, pusat informasi, penentu kebijakan, produsen/pemasar, dll) kepada masyarakat yang membutuhkan dan akan menggunakannya, maupun sebaliknya, dari masyarakat/praktisi kepada pakar, produsen, pengambil keputusan kebijakan, dll. umpan balik terhadap informasi/ inovasi yang telah disampaikan penyuluhnya.

2)    Pemecahan masalah, yaitu sebagai fasilitator pemecahan masalah dan atau perantara informasi yang menyangkut masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat, praktisi, pengguna dan pelanggan




                                        produk tertentu, kepada sumber informasi/inovasi/produk        mau-pun para penentu kebijakan pembangunan.

3)     Pengambilan keputusan, yaitu sebagai fasilitator dan atau peran-tara informasi tentang kebijakan pembangunan dari pengambil keputusan (penguasa) kepada masyarakat dan atau perantara informasi dari masyarakat tentang kebijakan yang harus diputus-kan oleh pihak luar (bukan oleh masyarakat sendiri).

B.  Peran/Tugas Penyuluhan

Mosher (1966) menyatakan bahwa kegiatan penyuluhan pertanian sangat diperlukan sebagai faktor pelancar pembangunan pertanian. 
Lebih dari itu, dengan mengutip pendapat Hadisapoetro (1970) yang menyatakan bahwa pelaksana-utama pembangunan pertanian pada dasarnya adalah petani-kecil yang merupakan golongan ekonomi lemah, Mardikanto (1993) justru menilai kegiatan penyuluhan sebagai faktor-kunci keberhasilan pembangunan pertanian, karena penyuluh-an selalu hadir sebagai pemicu sekaligus pemacu pembangunan pertanian

Di samping itu, terkait dengan peran penyuluhan sebagai proses pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan kapasitas individu, entitas dan jejaring (USAID, 1995), Mardikanto (1998) mengemuka-kan beragam peran/tugas penyuluhan  dalam satu kata yaitu edfikasi, yang merupakan akronim dari: edukasi, diseminasi informasi/inovasi, fasilitasi, konsultasi, supervisi, pemantauan dan evaluasi, yaitu:

1)    Edukasi, yaitu untuk memfasilitasi proses belajar yang dilakukan oleh para penerima manfaat penyuluhan (beneficiaries) dan atau stakeholders pembangunan yang lain-nya.
Seperti telah dikemukakan, meskipun edukasi berarti pendidikan, tetapi proses pendidikan tidak boleh menggurui apalagi memak-sakan kehendak (indoktrinasi, agitasi), melainkan harus benar-benar berlangsung sebagai proses belajar bersama yang partisi-patip dan dialogis.

2)    Diseminasi Informasi/Inovasi, yaitu penyebar-luasan informasi/ inovasi dari sumber informasi dan atau penggunanya.
Tentang hal ini, seringkali kegiatan penyuluhan hanya terpaku untuk lebih mengutamakan penyebaran informasi/inovasui dari pihak-luar.  Tetapi, dalam proses pembangunan, informasi dari “dalam” seringkali justru lebih penting, utamanya yang terkait dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat, pengambilan keputus-an kebijakan dan atau pemecahan masalah yang segera memerlu-kan penanganan. 

3)    Fasilitasi, atau pendampingan, yang lebih bersifat melayani kebutuhan-kebutuhan yang dirasakan oleh client-nya.
Fungsi fasilitasi tidak harus selalu dapat mengambil keputusan, memecahkan masalah, dan atau memenuhi sendiri kebutuhan-kebutuhan klien, tetapi seringkali justru hanya sebagai penengah/ mediator.

4)    Konsultasi, yang tidak jauh berbeda dengan fasilitasi, yaitu mem-bantu memecahkan masalah atau sekadar memberikan alternatip-alternatip pemecahan masalah.
Dalam melaksanakan peran konsultasi, penting untuk memberi-kan rujukan kepada pihak lain yang “lebih mampu” dan atau lebih kompeten untuk menanganinya.  Dalam melaksanakan fungsi konsultasi, penyuluh tidak boleh hanya “menunggu” tetapi harus aktif mendatangi kliennya.

5)    Supervisi, atau pembinaan.  Dalam praktek, supervisi seringkali disalah-artikan sebagai kegiatan “pengawasan” atau “pemerik-saan”.  Tetapi sebenarnya adalah, lebih banyak pada upaya untuk bersama-sama klien melakukan penilaian (self assesment), untuk kemudian memberikan saran alternatif perbaikan atau pemecahan masalah yang dihadapi.

6)    Pemantauan, yaitu kegiatan evaluasi yang dilakukan selama proses kegiatan sedang berlangsung.  Karena itu, pemantauan tidak jauh berbeda dengan supervisi.  Bedanya adalah, kegiatan pemantauan lebih menonjolkan peran penilaian, sedang supervisi lebih menonjolkan peran “upaya perbaikan”.

7)    Evaluasi, yaitu kegiatan pengukuran dan penilaian yang dapat dilakukan pada sebelum (formatif), selama (on-going, peman-tauan) dan setelah kegiatan selesai dilakukan (sumatif, ex-post).  Meskipun demikian, evaluasi seringkali hanya dilakukan setelah kegiatan selesai, untuk melihat proses hasil kegiatan (output),   dan dampak (outcome) kegiatan, yang menyangkut kinerja (performance) baik teknis maupun finansialnya.

Terkait dengan hal ini, Undang Undang No. 16 Tahun 2006 tentang Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan pasal 4 merinci peran penyuluhan pertanian sebagai berikut:

1)    memfasilitasi proses pembelajaran bagi petani dan pelaku usaha pertanian  lainnya;
2)    mengihtiarkan akses petani dan pelaku usaha pertanian lainnya ke sumber informasi, teknologi dan sumber daya lainnya agar mereka dapat mengembangkan usahanya;
3)    meningkatkan kemampuan manajerial dan kewirausahaan petani dan pelaku usaha pertanian lainnya;
4)    membantu petani dan pelaku saha pertanian lainnya dalam menumbuhkembangkan organisasinya menjadi organisasi ekonomi yang berdaya saing tinggi, bermoral dan berkelanjutan;
5)     membantu menganalisis dan memecahkan masalah serta merespon peluang dan tantangan yang dihadapi petani dan pelaku usaha pertanian lainnya dalam mengelola usahatani.

C. Tujuan Penyuluhan Pertanian

Pembangunan, apapun pengertian yang diberikan terhadapnya, selalu merujuk pada upaya perbaikan, terutama perbaikan pada mutu-hidup manusia, baik secara fisik, mental, ekonomi maupun sosial-budaya-nya. Terkait dengan pemahaman tersebut, tujuan penyuluhan pertanian diarahkan pada terwujudnya perbaikan teknis bertani (better farming), perbaikan usahatani (better business), dan perbaikan kehidupan petani dan masyarakatnya (better living)

Dari pengalaman pembangunan pertanian yang telah dilaksanakan di Indonesia selama tiga-dasawarsa terakhir, menunjukkan bahwa, untuk mencapai ketiga bentuk perbaikan yang disebutkan di atas masih memerlukan perbaikan-perbaikan lain yang menyangkut (Deptan, 2002):

1)    Perbaikan kelembagaan pertanian (better organization) demi terjalinnya kerjasama dan kemitraan antar stakeholders.
Sebagai contoh, dapat disampaikan pengalaman pelak-sanaan Intensifikasi Khusus (INSUS), di mana inovasi-sosial yang dilakukan melalui usahatani berkelompok mampu menembus kemandegan kenaikan produktiivitas (leveling off) yang dicapai melalui inovasi-teknis.

2)    Perbaikan kehidupan masyarakat (better community), yang tercermin dalam perbaikan pendapatan, stabilitas keamanan dan politik, yang sangat diperlukan bagi terlaksananya pembangunan pertanian yang merupakan sub-sistem pembangunan masyarakat (community devel-opment)
Tentang hal ini, pengalaman menunjukkan bahwa pembangunan pertanian tidak dapat berlangsung seperti diharapkan, manakala petani tidak memiliki cukup dana  yang didukung oleh stabilitas politik dan keamanan serta  pembangunan bidang dan sektor kehidupan yang lain.  Sebaliknya, pembangunan pertanian menjadi tidak berarti manakala tidak memberikan perbaikan kepada kehidupan masyarakatnya.

3)    Perbaikan usaha dan lingkungan hidup (better enviroment) demi kelangsungan usahataninya.
Tentang hal ini, pengalaman menunjukkan bahwa penggunaan pupuk dan pestisida secara berlebihan dan tidak seimbang telah berpengaruh negatip terhadap produktivitas dan pendapatan petani, secara kerusakan lingkungan-hidup yang lain, yang dikhawatirkan akan mengancam keberlanjutan (sustainability) pembangunan pertanian itu sendiri.

Di samping itu, Mardikanto (2002) menambah satu hal lagi yang menyangkut pentingnya perbaikan aksesibilitas petani dan pemangku kepentingan (stakeholders) pembangunan pertanian yang lain (better accesibility), baik terhadap sumber inovasi, input usahatani (kredit, sarana produksi, alat dan mesin pertanian), pasar dan jaminan harga, serta pengambilan keputusan politik.
Hal ini terutama dilandasi oleh pernyataan Hadisapoetro (1998) yang menyebutkan bahwa petani-petani kecil yang merupakan pelaku-utama pembangunan pertanian di Indonesia pada umumnya termasuk golongan ekonomi-lemah, yang lemah dalam hal permodalan, penguasaan dan penerapan teknologi, dan seringkali juga lemah semangatnya untuk maju, karena seringkali dijadikan obyek pemaksaan oleh birokrasi maupun penyuluhnya sendiri (Soewardi, 1986).

Lebih lanjut, World Bank (2002) mensyaratkan hal-hal yang perlu diperhatikan untuk terjaminnya pembangunan berkelanjutan (sustain-able development) yang menyangkut:

1)    Perbaikan modal finansial, berupa perencanaan ekonomi-makro dan pengelolaan fiskal
2)    Perbaikan modal fisik, berupa prasarana, bangunan, mesin, dan juga pelabuhan.
3)    Perbiakan modal SDM, berupa perbaikan kesehatan dan pendidikan yang relevan dengan pasar-kerja
4)    Pengemabngan modal-sosial, yang menyangkut: ketrampilan dan kemampuan masyarakat, kelembagaan, kemitraan, dan norma hubungan sosial yang lain.
5)    Pengelolaan sumberdaya alam, baik yang bersifat komersial maupun non-komersial bagi perbaikan kehidupan manusia termasuk: air-bersih, energi, serat, pengelolaan limbah, stabilitas iklim, dan beragam layanan penunjangnya.

D. Lingkup Kegiatan

Lippit (1961) dalam tulisannya tentang perubahan yang terencana, (Planned Change) merinci lingkup kegiatan penyuluh sebagai agen pembaruan sebagaimana dikemukakan Kevin ke dalam 7 (tujuh) kegiatan pokok, yaitu:

1)    Penyadaran, yaitu kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk menyadarkan masyarakat tentang “keberadaannya”,  baik kebera-daannya sebagai individu dan  anggota masyarakat, maupun kondisi lingkungannya yang menyangkut lingkungan fisik/teknis, sosial-budaya, ekonomi, dan politik.
Proses penyadaran seperti itulah yang dimaksudkan oleh Freire (1976) sebagai tugas utama dari setiap kegiatan pendidikan, termasuk di dalamnya penyuluhan.

2)    Menunjukkan adanya masalah, yaitu kondisi yang tidak diingin-kan yang kaitannya dengan: keadaan sumberdaya (alam, manusia, sarana-prasarana, kelembagaan, budaya, dan aksesibilitas), ling-kungan fisik/teknis, sosial-budaya dan politis
Termasuk dalam upaya menunjukkan masalah tersebut, adalah faktor-faktor penyebab terjadinya masalah, terutama yang menyangkut kelemhan internal dan ancaman eksternalnya.

3)    Membantu pemecahan masalah, sejak analisis akar-masalah, analisis alternatif pemecahan masalah, serta pilihan alternatip pemecahan terbaik yang dapat dilakukan sesuai dengan kondisi internal (kekuatan, kelemahan) maupun kondisi eksternal (pelu-ang dan ancaman)  yang dihadapi.

4)    Menunjukkan pentingnya perubahan, yang sedang dan akan terjadi di lingkungannya, baik lingkungan organisasi dan masya-rakat (lokal, nasional, regional dan global)
Karena kondisi lingkungan (internal dan eksternal) terus menga-lami perubahan yang semakin cepat, maka masyarakat juga harus disiapkan untuk mengantisipasi perubahan-perubahan tersebut melalu kegiatan “perubahan yang terencana”

5)    Melakukan pengujian dan demonstrasi, sebagai bagian dan implementasi perubahan terencana yang berhasil dirumuskan.
Kegiatan uji-coba dan demonstrasi ini sangat diperlukan, karena tidak semua inovasi selalu cocok (secara: teknis, ekonomis, sosial-budaya, dan politik/kebijakan) dengan kondisi masyarakatnya.  Di samping itu, uji-coba juga diperlukan untuk memperoleh gambaran tentang beragam alternatip yang paling “bermanfaat” dengan resiko atau korbanan yang terkecil.

6)    Memproduksi dan publikasi informasi, baik yang berasdal dari “luar” (penelitian, kebijakan, produsen/pelaku bisnis, dll) maupun yang berasal dari dalam (pengalaman, indege-nuous technology, maupun kearifan tradisional dan nilai-nilai adat yang lain)
Sesuai dengan perkembangan teknologi, produk dan media publikasi yang digunakan perlu disesuaikan dengan karakteristik (calon) penerima manfaat penyuluhannya

7) Melaksanakan pemberdayaan/penguatan kapasitas, yaitu pemberian kesempatan kepada kelompok lapisan bawah (grassroot) untuk bersuara dan menentukan sendiri pilihan-pilihannya (voice and choice) kaitannya dengan: aksesibi-litas informasi, keterlibatan dalam pemenuhan kebutuhan serta partisipasi dalam keseluruhan proses pembangunan, bertanggung-gugat (akuntabilitas publik), dan penguatan kapasitas lokal.
Sedang yang dimaksud dengan penguatan kapasitas, menyangkut penguatan kapasitas indiividu, kelembagaan-lokal, masyarakat, serta pengembangan jejaring dan kemitraan-kerja.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar