3.
Kedudukan,
Peran, Tujuan,
Dan
Lingkup Kegiatan
A. Kedudukan Penyuluhan Pertanian
Berbicara
tentang kedudukan penyuluhan, Timmer (1983) dengan tepat menyebutnya sebagai
“perantara” atau jembatan penghubung, yaitu penguhubung antara (Gambar 5):
1) Teori dan praktek, terutama bagi kelompok sasaran
(penerima manfaat) yang belum memahami “bahasa ilmu pengetahuan/tek-nologi”.
2) Pengalaman dan kebutuhan, yaitu antar dua kelompok
yang setara seperti sesama praktisi, sesama tokoh masyarakat, dll.
3) Penguasa dan masyarakat, terutama yang menyangkut
pemecahan masalah dan atau kebijakan-kebijakan pembangunan.
4) Produsen dan pelanggan, terutama menyangkut
produk-produk (sarana produksi, mesin/peralatan, dll.
5) Sumber informasi dan penggunanya, terutama terhadap
masyara-kat yang relatif masih tertutup atau kurang memiliki aksesibilitas
terhadap informasi.
6) Antar sesama stakeholder
agribisnis, dalam pengembangan jeja-ring dan kemitraan-kerja, terutama dalam
pertukaran informasi.
7) Antara masyarakat (di
dalam) dan “pihak luar”, kaitannya dengan kegiatan agribisnis dan atau
pengembangan masyarakat dalam arti yang lebih luas.
Berkaitan dengan pemahaman tersebut, Lionberger
(1983, 1991) meletakkan penyuluhan sebagai “variabel antara” (interviening
variable), dalam pembangunan (pertanian) yang bertujuan untuk memperbaiki
kesejahteraan petani dan masyarakatnya (Gambar 6). Dalam posisi seperti itu, kegagalan pembangunan pertanian
untuk memperbaiki kesejahteraan petani bukan semata-mata disebabkan oleh lemah
atau rendahnya mutu/kinerja penyuluhan.
| |||
Gambar 5. Kedudukan Penyuluhan Dalam Pembangunan Pertanian
Sebaliknya, keberhasilan pembangunan pertanian
dalam memperbaiki kesejahteraan petani, tidak dapat dikatakan bahwa hal itu
disebabkan ”hanya” oleh baik atau tingginya mutu/kinerja penyuluhan. Sebagai
“variabel antara” (Lionberger, 1983):, kegiatan penyuluhan berperan sebagai
jembatan dalam proses (Gambar 6);
1) Distribusi
informasi/inovasi, baik dari sumber (peneliti, pusat informasi, penentu
kebijakan, produsen/pemasar, dll) kepada masyarakat yang membutuhkan dan akan
menggunakannya, maupun sebaliknya, dari masyarakat/praktisi kepada pakar,
produsen, pengambil keputusan kebijakan, dll. umpan balik terhadap informasi/
inovasi yang telah disampaikan penyuluhnya.
2) Pemecahan masalah, yaitu
sebagai fasilitator pemecahan masalah dan atau perantara informasi yang
menyangkut masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat, praktisi, pengguna
dan pelanggan
3)
Pengambilan keputusan, yaitu sebagai fasilitator dan atau
peran-tara informasi tentang kebijakan pembangunan dari pengambil keputusan
(penguasa) kepada masyarakat dan atau perantara informasi dari masyarakat
tentang kebijakan yang harus diputus-kan oleh pihak luar (bukan oleh masyarakat
sendiri).
B. Peran/Tugas Penyuluhan
Mosher (1966)
menyatakan bahwa kegiatan penyuluhan pertanian sangat diperlukan sebagai faktor
pelancar pembangunan pertanian.
Lebih dari itu,
dengan mengutip pendapat Hadisapoetro (1970) yang menyatakan bahwa
pelaksana-utama pembangunan pertanian pada dasarnya adalah petani-kecil yang
merupakan golongan ekonomi lemah, Mardikanto (1993) justru menilai kegiatan
penyuluhan sebagai faktor-kunci keberhasilan pembangunan pertanian, karena
penyuluh-an selalu hadir sebagai pemicu sekaligus pemacu pembangunan pertanian
Di samping itu, terkait
dengan peran penyuluhan sebagai proses pemberdayaan masyarakat untuk
meningkatkan kapasitas individu, entitas dan jejaring (USAID, 1995), Mardikanto (1998)
mengemuka-kan beragam peran/tugas penyuluhan dalam satu kata yaitu edfikasi, yang merupakan
akronim dari: edukasi, diseminasi informasi/inovasi, fasilitasi, konsultasi,
supervisi, pemantauan dan evaluasi, yaitu:
1) Edukasi, yaitu untuk memfasilitasi
proses belajar yang dilakukan oleh para penerima manfaat penyuluhan (beneficiaries)
dan atau stakeholders pembangunan yang lain-nya.
Seperti telah dikemukakan, meskipun edukasi berarti pendidikan, tetapi
proses pendidikan tidak boleh menggurui apalagi memak-sakan kehendak
(indoktrinasi, agitasi), melainkan harus benar-benar berlangsung sebagai proses
belajar bersama yang partisi-patip dan dialogis.
2) Diseminasi
Informasi/Inovasi, yaitu penyebar-luasan informasi/ inovasi dari sumber
informasi dan atau penggunanya.
Tentang hal ini, seringkali kegiatan penyuluhan hanya terpaku untuk lebih
mengutamakan penyebaran informasi/inovasui dari pihak-luar. Tetapi, dalam proses pembangunan,
informasi dari “dalam” seringkali justru lebih penting, utamanya yang terkait
dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat, pengambilan keputus-an kebijakan dan
atau pemecahan masalah yang segera memerlu-kan penanganan.
3) Fasilitasi, atau pendampingan, yang
lebih bersifat melayani kebutuhan-kebutuhan yang dirasakan oleh client-nya.
Fungsi fasilitasi tidak harus
selalu dapat mengambil keputusan, memecahkan masalah, dan atau memenuhi sendiri
kebutuhan-kebutuhan klien, tetapi seringkali justru hanya sebagai penengah/ mediator.
4) Konsultasi, yang tidak jauh berbeda
dengan fasilitasi, yaitu mem-bantu memecahkan masalah atau sekadar memberikan
alternatip-alternatip pemecahan masalah.
Dalam melaksanakan peran konsultasi, penting untuk memberi-kan rujukan
kepada pihak lain yang “lebih mampu” dan atau lebih kompeten untuk
menanganinya. Dalam melaksanakan
fungsi konsultasi, penyuluh tidak boleh hanya “menunggu” tetapi harus aktif
mendatangi kliennya.
5) Supervisi, atau pembinaan. Dalam praktek, supervisi seringkali
disalah-artikan sebagai kegiatan “pengawasan” atau “pemerik-saan”. Tetapi sebenarnya adalah, lebih banyak
pada upaya untuk bersama-sama klien melakukan penilaian (self assesment),
untuk kemudian memberikan saran alternatif perbaikan atau pemecahan masalah
yang dihadapi.
6) Pemantauan, yaitu kegiatan evaluasi
yang dilakukan selama proses kegiatan sedang berlangsung. Karena itu, pemantauan tidak jauh
berbeda dengan supervisi. Bedanya
adalah, kegiatan pemantauan lebih menonjolkan peran penilaian, sedang supervisi
lebih menonjolkan peran “upaya perbaikan”.
7) Evaluasi, yaitu kegiatan pengukuran
dan penilaian yang dapat dilakukan pada sebelum (formatif), selama (on-going,
peman-tauan) dan setelah kegiatan selesai dilakukan (sumatif, ex-post). Meskipun demikian, evaluasi seringkali
hanya dilakukan setelah kegiatan selesai, untuk melihat proses hasil kegiatan (output), dan dampak (outcome)
kegiatan, yang menyangkut kinerja (performance) baik teknis maupun
finansialnya.
Terkait dengan hal ini,
Undang Undang No. 16 Tahun 2006 tentang Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan
Kehutanan pasal 4 merinci peran penyuluhan pertanian sebagai berikut:
1) memfasilitasi proses
pembelajaran bagi petani dan pelaku usaha pertanian lainnya;
2) mengihtiarkan akses
petani dan pelaku usaha pertanian lainnya ke sumber informasi, teknologi dan
sumber daya lainnya agar mereka dapat mengembangkan usahanya;
3) meningkatkan kemampuan
manajerial dan kewirausahaan petani dan pelaku usaha pertanian lainnya;
4) membantu petani dan
pelaku saha pertanian lainnya dalam menumbuhkembangkan organisasinya menjadi
organisasi ekonomi yang berdaya saing tinggi, bermoral dan berkelanjutan;
5)
membantu menganalisis dan memecahkan masalah serta
merespon peluang dan tantangan yang dihadapi petani dan pelaku usaha pertanian
lainnya dalam mengelola usahatani.
C. Tujuan Penyuluhan Pertanian
Pembangunan, apapun pengertian yang diberikan
terhadapnya, selalu merujuk pada upaya perbaikan, terutama perbaikan pada
mutu-hidup manusia, baik secara fisik, mental, ekonomi maupun sosial-budaya-nya.
Terkait dengan pemahaman tersebut, tujuan penyuluhan pertanian diarahkan pada
terwujudnya perbaikan teknis bertani (better farming), perbaikan
usahatani (better business), dan perbaikan kehidupan petani dan
masyarakatnya (better living)
Dari pengalaman pembangunan pertanian yang telah
dilaksanakan di Indonesia selama tiga-dasawarsa terakhir, menunjukkan bahwa,
untuk mencapai ketiga bentuk perbaikan yang disebutkan di atas masih memerlukan
perbaikan-perbaikan lain yang menyangkut (Deptan, 2002):
1) Perbaikan kelembagaan
pertanian (better organization) demi terjalinnya kerjasama dan kemitraan
antar stakeholders.
Sebagai contoh, dapat disampaikan
pengalaman pelak-sanaan Intensifikasi Khusus (INSUS), di mana inovasi-sosial
yang dilakukan melalui usahatani berkelompok mampu menembus kemandegan kenaikan
produktiivitas (leveling off) yang dicapai melalui inovasi-teknis.
2) Perbaikan kehidupan
masyarakat (better community), yang tercermin dalam perbaikan
pendapatan, stabilitas keamanan dan politik, yang sangat diperlukan bagi
terlaksananya pembangunan pertanian yang merupakan sub-sistem pembangunan
masyarakat (community devel-opment)
Tentang hal ini, pengalaman
menunjukkan bahwa pembangunan pertanian tidak dapat berlangsung seperti
diharapkan, manakala petani tidak memiliki cukup dana yang didukung oleh stabilitas politik dan keamanan
serta pembangunan bidang dan
sektor kehidupan yang lain.
Sebaliknya, pembangunan pertanian menjadi tidak berarti manakala tidak
memberikan perbaikan kepada kehidupan masyarakatnya.
3) Perbaikan usaha dan lingkungan
hidup (better enviroment) demi kelangsungan usahataninya.
Tentang hal ini, pengalaman
menunjukkan bahwa penggunaan pupuk dan pestisida secara berlebihan dan tidak
seimbang telah berpengaruh negatip terhadap produktivitas dan pendapatan
petani, secara kerusakan lingkungan-hidup yang lain, yang dikhawatirkan akan
mengancam keberlanjutan (sustainability) pembangunan pertanian itu
sendiri.
Di samping itu, Mardikanto (2002) menambah satu
hal lagi yang menyangkut pentingnya perbaikan aksesibilitas petani dan pemangku
kepentingan (stakeholders)
pembangunan pertanian yang lain (better accesibility), baik terhadap
sumber inovasi, input usahatani (kredit, sarana produksi, alat dan mesin
pertanian), pasar dan jaminan harga, serta pengambilan keputusan politik.
Hal ini terutama dilandasi oleh pernyataan
Hadisapoetro (1998) yang menyebutkan bahwa petani-petani kecil yang merupakan
pelaku-utama pembangunan pertanian di Indonesia pada umumnya termasuk golongan
ekonomi-lemah, yang lemah dalam hal permodalan, penguasaan dan penerapan
teknologi, dan seringkali juga lemah semangatnya untuk maju, karena seringkali
dijadikan obyek pemaksaan oleh birokrasi maupun penyuluhnya sendiri (Soewardi,
1986).
Lebih lanjut, World Bank (2002) mensyaratkan
hal-hal yang perlu diperhatikan untuk terjaminnya pembangunan berkelanjutan (sustain-able
development) yang menyangkut:
1) Perbaikan modal
finansial, berupa perencanaan ekonomi-makro dan pengelolaan fiskal
2) Perbaikan modal fisik,
berupa prasarana, bangunan, mesin, dan juga pelabuhan.
3) Perbiakan modal SDM,
berupa perbaikan kesehatan dan pendidikan yang relevan dengan pasar-kerja
4) Pengemabngan
modal-sosial, yang menyangkut: ketrampilan dan kemampuan masyarakat,
kelembagaan, kemitraan, dan norma hubungan sosial yang lain.
5) Pengelolaan sumberdaya
alam, baik yang bersifat komersial maupun non-komersial bagi perbaikan
kehidupan manusia termasuk: air-bersih, energi, serat, pengelolaan limbah,
stabilitas iklim, dan beragam layanan penunjangnya.
D. Lingkup Kegiatan
Lippit (1961) dalam tulisannya tentang perubahan
yang terencana, (Planned Change) merinci
lingkup kegiatan penyuluh sebagai agen pembaruan sebagaimana dikemukakan Kevin
ke dalam 7 (tujuh) kegiatan pokok, yaitu:
1) Penyadaran, yaitu kegiatan-kegiatan
yang dilakukan untuk menyadarkan masyarakat tentang “keberadaannya”, baik kebera-daannya sebagai individu
dan anggota masyarakat, maupun
kondisi lingkungannya yang menyangkut lingkungan fisik/teknis, sosial-budaya,
ekonomi, dan politik.
Proses penyadaran seperti itulah yang dimaksudkan oleh Freire (1976) sebagai
tugas utama dari setiap kegiatan pendidikan, termasuk di dalamnya penyuluhan.
2) Menunjukkan adanya
masalah, yaitu kondisi yang tidak diingin-kan yang kaitannya dengan: keadaan
sumberdaya (alam, manusia, sarana-prasarana, kelembagaan, budaya, dan
aksesibilitas), ling-kungan fisik/teknis, sosial-budaya dan politis
Termasuk dalam upaya menunjukkan masalah tersebut, adalah faktor-faktor
penyebab terjadinya masalah, terutama yang menyangkut kelemhan internal dan
ancaman eksternalnya.
3) Membantu pemecahan
masalah,
sejak analisis akar-masalah, analisis alternatif pemecahan masalah, serta
pilihan alternatip pemecahan terbaik yang dapat dilakukan sesuai dengan kondisi
internal (kekuatan, kelemahan) maupun kondisi eksternal (pelu-ang dan
ancaman) yang dihadapi.
4) Menunjukkan pentingnya
perubahan, yang sedang dan akan terjadi di lingkungannya, baik lingkungan organisasi
dan masya-rakat (lokal, nasional, regional dan global)
Karena kondisi lingkungan
(internal dan eksternal) terus menga-lami perubahan yang semakin cepat, maka
masyarakat juga harus disiapkan untuk mengantisipasi perubahan-perubahan
tersebut melalu kegiatan “perubahan yang terencana”
5) Melakukan pengujian dan demonstrasi, sebagai bagian dan implementasi perubahan terencana
yang berhasil dirumuskan.
Kegiatan uji-coba dan demonstrasi ini sangat diperlukan,
karena tidak semua inovasi selalu cocok (secara: teknis, ekonomis,
sosial-budaya, dan politik/kebijakan) dengan kondisi masyarakatnya. Di samping itu, uji-coba juga
diperlukan untuk memperoleh gambaran tentang beragam alternatip yang paling
“bermanfaat” dengan resiko atau korbanan yang terkecil.
6) Memproduksi
dan publikasi informasi, baik yang berasdal dari “luar” (penelitian,
kebijakan, produsen/pelaku bisnis, dll) maupun yang berasal dari dalam
(pengalaman, indege-nuous technology, maupun kearifan tradisional dan
nilai-nilai adat yang lain)
Sesuai dengan perkembangan teknologi, produk dan media
publikasi yang digunakan perlu disesuaikan dengan karakteristik (calon)
penerima manfaat penyuluhannya
7) Melaksanakan pemberdayaan/penguatan kapasitas, yaitu pemberian
kesempatan kepada kelompok lapisan bawah (grassroot) untuk bersuara dan
menentukan sendiri pilihan-pilihannya (voice and choice) kaitannya
dengan: aksesibi-litas
informasi, keterlibatan dalam pemenuhan kebutuhan serta partisipasi dalam
keseluruhan proses pembangunan, bertanggung-gugat (akuntabilitas publik), dan
penguatan kapasitas lokal.
Sedang yang dimaksud dengan penguatan kapasitas,
menyangkut penguatan kapasitas indiividu, kelembagaan-lokal, masyarakat,
serta pengembangan jejaring dan kemitraan-kerja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar