DEGRADASI
LAHAN SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI (SUB DAS) CITARIK HULU DI KAB. BANDUNG DAN
SUMEDANG
NAMA : Furqon
NIM :
1050804000111032
FAKULTAS
PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS
BRAWIJAYA
TAHUN
2012
DEGRADASI LAHAN SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI (SUB DAS)
CITARIK HULU DI KAB. BANDUNG DAN SUMEDANG
Abstrak
Ekosistem Sub Das Citarik Hulu telah
mengalami degradasi lingkungan baik
itu sumberdaya lahan maupun sumberdaya air. Penyebab tersebut antara lain disebabkan oleh karakteristik dan
kemampuan lahan, iklim dan curah hujan, jenis tanah, serta perilaku petani dalam melakukan usaha tani. Selain itu, berdasarkan karakter fisik dari lahan tersebut yang
pada umumnya berada pada kelas
kemampuan lahan Ive, yang memiliki faktor pembatas berupa ancaman
erosi, kemiringan lereng dan
kepekaan erosi.
Untuk mengatasi terhadap hal itu, perlu
adanya upaya-upaya untuk
pelestarian sumberdaya lahan dan sumberdaya air yaitu melalui berbagai
teknik konservasi lahan dengan
melibatkan seluruh stakeholder. Kata Kunci: Degradasi lahan
PENDAHULUAN
1. Latar
Belakang
Wilayah Sub DAS Citarik Hulu yang
merupakan bagian dari DAS Citarum, secara administratif termasuk ke dalam
wilayah Kabupaten Bandung dan Kabupaten Sumedang, berada pada ketinggian antara
700-1500 meter di atas permukaan laut. Sub DAS Citarik memiliki luas 4.315,41
Ha, yang tersebar kedalam lima desa yaitu Desa Dampit, Desa Tanjungwangi, Desa
Cimanggung, Desa Sindulang, dan Desa Tegal Manggung.
Karakteristik fisik wilayah Sub DAS
Citarik Hulu merupakan daerah yang relatif berbukit dan sebagian bergunung dengan
kemiringan lereng berkisar dari agak miring (10%), sampai agak curam (40%), dan
curam. Jenis tanah yang terdapat di Sub DAS Citarik Hulu sebagian besar tanah
Andosol dan Latosol yang merupakan hasil dari proses vulkanik, dan sebagian
tanah asosiasi Andosol dengan Latosol. Sub Das Citarik Hulu memiliki rata-rata
curah hujan tahunan cukup tinggi, dengan bulan basah antara bulan Nopember
sampai Maret sedangkan bulan kering terjadi pada bulan April sampai Agustus.
Sehingga berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt-Ferguson daerah ini termasuk
kedalam tipe iklim C yaitu agak basah.
Secara genesis bentuk lahan di daerah
Sub DAS Citarik Hulu adalah bentukan asal vulkanik dan bentukan denudasional.
Adapun bentukan asal vulkanik terdiri atas kerucut gunung api muda (V1), lereng
gunung api (V2), kaki vulkanik (V3), dataran vulkanik (V4), dan dataran antar
vulkanik (V7). Sedangkan bentukan asal denudasional terdiri atas Bukit sisa
yang terbentuk akibat erosi be-rat masa lampau dengan kemiringan lereng curam
sampai sangat curam dan bentukan teras alluvial (F 14).
Berdasarkan peta penggunaan lahan
sebagian besar Sub DAS Citarik Hulu merupakan daerah pertanian lahan kering. Di
samping itu, penggunaan lahan di daerah ini meliputi, hutan, kebun, tegalan,
sawah irigasi, sawah tadah hujan, semak belukar dan permukiman. Sub DAS Citarik
Hulu memiliki jumlah penduduk 26.372 jwa untuk masing-masing kecamatan
Cimanggung 16.784 jiwa dan Keca-matan Cicalengka 9.588 jiwa (menurut data
monografi kecamatan pada tahun 2005). Dari data monografi daerah ini menunjukkan bahwa sebagian besar
penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. Produk pertanian utamanya
adalah kol, kentang, tomat, kacang merah dan ubi kayu. Produk pertanian ini dianggap
memliki nilai ekonomi yang tinggi sementara kepemilikan lahan petani relatif terbatas, sehingga
memacu para petani untuk memperluas lahan pertaniannya (ekstensifikasi
pertanian). Namun upaya ekstensifikasi pertanian di Sub DAS Citarik hulu ini
kurang memperhatikan karakteristik dan kualitas lahan, \sehingga
kecenderungannya mengarah pada degradasi lahan. Perluasan lahan pertanian
sebagian besar merambah hutan sampai mendekati puncak-puncak bukit dengan
kemiringan lereng yang curam.
Wilayah Sub Das Citarik Hulu telah dan sedang
mengalami degradasi lingkungan, terutama sumber daya lahan dan air. Faktor yang memicu penurunan
kondisi lingkungan tersebut di antaranya adalah cara petani memperlakukan
lahan/tanah, karakteristik fisik, curah hujan yang tinggi serta ekstensifikasi
lahan pertanian pada lahan kawasan lindung. Keadaan tersebut harus segera
dilakukan pengendalian serta tindakan konservasi yang tepat, karena apabila
tidak dilakukan praktek-praktek konservasi akan menambah laju erosi secara
intensif sehingga terjadi penipisan lapisan tanah dan akhirnya tanah menjadi
kurang
Fenomena di atas sangat memprihatinkan
dan harus segera dilakukan pengendalian serta tindakan konservasi yang tepat,
karena apabila tidak dilakukan praktek-praktek konservasi akan menambah laju erosi secara intensif
sehingga terjadi penipisan lapisan tanah dan akhirnya tanah menjadi kurang
produktif bahkan tidak produktif
yang memicu terjadinya lahan kritisproduktif bahkan tidak produktif yang memicu terjadinya lahan kritis.
Sub DAS Citarik merupakan bagian dari
DAS Citarum. DAS Citarum merupakan DAS yang memiliki nilai ekonomis dan
ekologis yang luar biasa. Dari segi ekonomi, DAS Citarum merupakan urat nadi
bagi kehidupan Kota Bandung dan daerah sekitarnya seperti Purwakarta, Karawang dan Jakarta sebagai sumber air
minum, sumber air bagi industri, irigasi pertanian, perikanan, di samping
penghasil Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) baik Saguling, Cirata dan
Jatiluhur dalam mendukung sistem jaringan listrik Jawa – Bali.
Secara ekologis DAS Citarum mengalami
perusakan yang sangat serius seperti terjadinya defisit neraca air, sehingga
mengakibatkan banjir dan kekeringan, meluasnya lahan kritis di daerah hulu,
serta tingginya bahan-bahan polutan dari limbah industri, pertanian dan rumah
tangga.
Sub DAS Citarik yang merupakan salah
satu Sub DAS dari DAS Citarum,
memiliki kerawanan paling tinggi di antara Sub DAS – Sub DAS lainnya pada DAS
Citarum. Sebagaimana dilansir harian Pikiran Rakyat pada tanggal 5, 8 dan 10
Maret 2006, adanya kontroversi tentang tingkat kegagalan proyek konservasi dan
rehabilitasi di daerah hulu, mengisyaratkan terjadinya kegagalan pengelolaan
DAS yang ada di daerah ini
Oleh karena itu, perlu adanya kajian
ekosistem DAS Citarum, terutama pada Sub DAS Citarik Hulu tentang berbagai kondisi, karakteristik tingkat
kekritisan lahan, dan perilaku masyarakat yang ada di kawasan tersebut.
2. Rumusan
Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang
di atas, dapat dirumuskan dan dibatasi pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1)
Bagaimanakah
kondisi air limpasan di Sub DAS Citarik?
2)
Bagaimanakah
karakteristik dan kemampuan lahan di Sub DAS Citarik?
3)
Bagaimanakah
tingkat kekritisan lahan di Sub DAS Citarik?
4)
Bagaimanakah
karakteristik kondisi lahan dan hubungannnya dengan 4 teknik konservasi di Sub
DAS Citarik?
5)
Bagaimanakah
kondisi sosial ekonomi di Sub DAS Citarik?
6)
Bagaimanakah
pola mobilitas penduduk di Sub DAS Citarik?
3. Tujuan
tujuan penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi antara lain untuk mengetahui
tentang:
1)
Kondisi air limpasan di Sub DAS Citarik
2)
Karakteristik
dan kemampuan lahan di Sub DAS Citarik
3)
Tingkat
kekritisan lahan di Sub DAS Citarik
4)
Karakteristik
kondisi lahan dan hubungannnya dengan teknik konservasi di Sub DAS Citarik .
Melalui penelitian ini diharapkan
memberikan manfaat antara lain:
1)
Diperolehnya
data aktual tentang kondisi ekosistem Sub DAS Citarik, sehingga dapat memperkaya khasanah teori dinamika
ekosistem DAS yang ada.
2)
Data
hasil penelitian ini dapat dijadikan data dasar bagi penelitian selanjutnya
maupun bahan masukan bagi pertimbangan pengelolaan DAS, khususnya pada Sub DAS
Citarik maupun Sub DAS – Sub DAS
yang ada pada kawasan DAS Citarum yang ada pada saat ini telah menunjukkan
degradasi kualitas
PEMBAHASAN
1. Ekosistem
Daerah Aliran Sungai (DAS)
Secara umum daerah aliran sungai (DAS) dapat diartikan sebagai wilayah
aliran air yang dibatasi oleh igir-igir, di mana air hujan yang jatuh akan
mengalir melalui saluran-saluran tertentu yang pada akhirnya akan mengalir pada
danau atau laut. Hal tersebut tidak berbeda jauh dengan apa yang dikemukakan
oleh Suripin bahwa DAS merupakan suatu ekosistem dimana didalamnya terjadi
suatu proses interaksi antara faktor biotik, non biotik dan
manusia. Nasution L. dan Anwar A. (1981) dalam Fatimah N. (1997) mengemukakan
bahwa DAS merupakan kesatuan ekosistem yang mempunyai bagian-bagian subsistem
yang saling berkaitan satu sama lain.
Komponen-komponen DAS antara lain:
a.
Vegetasi
yang berfungsi mengatur tata air dan pelindung tanah dari daya rusak
butir-butir air hujan, pelindung tanah dari daya tarik air limpasan permukaan,
serta sebagai komponen yang mampu memperbaiki kapasitas 5 infiltrasi dan daya
absorpsi air. Vegetasi yang
dimaksud dalam hal ini menurut Soemarwoto (1974) meliputi tumbuhan hidup di
daerah tersebut.
b.
Tanah merupakan
suatu tumbuk alam atau gabungan tubuh alam yang dapat dianggap sebagai hasil
alam bermata tiga yang merupakan paduan antara gaya pengrusakan dan
pembangunan, yang dalam hal ini Suripin (2002) menyatakan secara fisik, tanah
terdiri dari partikel mineral organik dengan berbagai ukuran.
c.
Tata guna
lahan adalah suatu proses pembuatan anjuran mengenai lokasi bagi berbagai
kegiatan manusia. Pada umumnya orang memandang bahwa lahan dan tanah itu adalah
bagian penting dari lingkungan hidup.
Aktivitas suatu komponen ekosistem
selalu memberi pengaruh pada ekosistem yang lain. Manusia adalah salah satu
komponen yang teramat penting. Sebagai komponen yang dinamis, manusia dalam
menjalankan aktivitasnya seringkali mengakibatkan dampak yang besar bagi
keseluruhan ekosistemnya. Sehingga hubungan timbal balik antar komponen menjadi
tidak seimbang, maka terjadilan gangguan ekologis. Gangguan tersebut pada
dasarnya gangguan pada arus materi, energi dan informasi antar komponen yang
tidak seimbang (Odum, 1972).
Dalam mempelajari ekosistem DAS, daerah
aliran sungai biasanya dibagi menjadi daerah hulu, tengah dan hilir. Secara
biogeofisik, karakteristik hulu DAS merupakan daerah konservasi, mempunyai
kerapatan drainase lebih tinggi, kemiringan lereng besar
(> 15%), bukan merupakan daerah banjir, pengaturan pemakaian air ditentukan
oleh pola drainase, dan jenis vegetasi umumnya merupakan tegakan hutan.
Sementara daerah hi lir dicirikan oleh hal-hal seperti: merupakan daerah
pemanfaatan, kerapatan drainase lebih kecil, merupakan daerah dengan kemiringan
kecil sampai dengan sangat kecil (kurang dari 8 % ), pada beberapa tempat
merupakan daerah banjir (genangan), pengaturan pemakaian air ditentukan oleh bangunan irigasi, dan jenis
vegetasi didominasi tanaman pertanian. Daerah aliran sungai bagian tengah
merupakan daerah transisi dari kedua karakteristik biogeofisik DAS yang berbeda
tersebut.
2. Degradasi
Lahan
Sumber daya alam utama, yaitu tanah dan air, pada
dasarnya merupakan sumber daya alam yang dapat diperbaharui, namun mudah
mengalami kerusakan atau degradasi. Degradasi lahan adalah lahan yang telah
mengalami proses penurunan tingkat produktivitasnya (Sarief, 1986). Kerusakan tanah dapat terjadi oleh:
a.
Kehilangan
unsur hara dan zat organik didaerah perakaran
b.
Terkumpulnya
garam didaerah perakaran (salinisasi)
c.
Terkumpulnya
atau terungkapnya unsur atau senyawa dalam tanah yang merupakan racun bagi
tanaman
d.
Penjenuhan
tanah oleh air (waterlogging )
e.
Erosi
Kerusakan lahan dapat terjadi secara
alami atau oleh aktivitas manusia. Secara alami sebagian besar disebabkan
bencana aim sedangkan akibat oleh aktivitas manusia adalah pembukaan lahan
hutan menjadi lahan pertanian. Pemanfaatan laltan tegalan tanpa mengindahkan
kaidah-kaidah konservasi, dan pembalakan liar, penambangan liar dan peladangan
berpindah.
3. Konsep
Lahan Kritis
Salah satu konsep lahan kritis yang
dikemukakan oleh Poerwowidodo (1990) adalah sebagai berikut:
"Lahan
kritis adalah suatu keadaan lahan yang terbuka atau tertutupi semak belukar,
sebagai akibat dari solum tanah yang tipis dengan kenampakan batuan bermunculan
dipermukaan tanah akibat tererosi betat dan produktivitasnya rendah".
Selanjutnya dijelaskan pula oleh
Munandar (1995) bahwa:
"Lahan
kritis adalah lahan yang telah mengalami amu dalam proses kerusakan fisik,
kimia, atau biologi yang akhimya dapat membahayakan fungsi hidrologi, orologi,
produksi perfanian, pemukiman, dim kehidupan sosial ekonomi dad daerah
lingkungan pengaruhnya".
Pertumbuhan penduduk yang pesat telah
mendorong peningkatan kebutuhan lahan untuk pemukiman, pertanian dan kebutuhan
lainnya. Hal ini menyebabkan penggunaan lahan kurang memperhatikan
kelestariannya. Demikian juga ketidaktahuan dan kurangnya kesadaran masyarakat
dalam pengolahan lahan telah menimbulkan lahan-lahan kritis yang baru.
Masalah lahan kritis, erosi, dan banjir
akibat dari masalah demografi yang luas, dilihat dari sudut ekologi dan
pertambahan penduduk yang melampaui daya dukung lingkungan (Soemarwoto, 1985).
Pendapat tersebut menggambarkan bahwa jumlah penduduk dengan segala
karakteristiknya sangat berbengamh terhadap kualitas lingkungan setempat.
Walaupun lahan yang ada memberi kemungkinan besar untuk intensifikasi dan
menyerap jumlah penduduk, tetapi pada akhirnya lahan-lahan yang tersedia
semakin menyusut dan tidak lagi cukup bagi kebutuhan manusia yang makin
bertambah.
4.
Parameter
Lahan Kritis
Timbulnya lahan kritis disebabkan oleh
beberapa faktor, di antaranya
adalah topografi, faktor tanah, tingkatan erosi, dan vegetasi penutup lahan:
Topografi
Notohadiprawiro (1977) mengemukakan:
"Unsur -unsur topografi yang paling berpengaruh
terhadap timbulnya lahan kritis adalah kemiringan lereng, panjang lereng, bentuk dan arah lereng.
Kemiringan lereng merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi dan
mengendalikan proses-proses pembentukan tanah. Kemiringan lereng juga merupakan
salah satu faktor yang menentukan perkembangan tanah akibat pengaruh lingkungan
fisik dan hayati. Selain itu, kemiringan lereng dapat mencirikan bentuk dan
sifat tubuh tanahnya, sehingga kemiringan lereng selalu digunakan untuk
menyatakan kemampuan tanah".
Kemiringan lereng dinyatakan dalam
derajat atau persen. Kemiringan
lereng ini sangat memepengaruhi terhadap kecepatan aliran permukaan yang
berakibat pada besar kecilnya energi angkut air. Makin besar kemiringan
lerengnya, semakin banyak jumlah butir-butir tanah yang terpercil ke bawah oleh
tumbukan air hujan. Parameter topografi lainnya adalah panjang lereng yang
menurut konsep Arsyad (1989) adalah:
"Panjang
lereng dihitung mulai dari titik pangkal aliran pemukaan sampai pada suatu
titik di mana air masuk ke dalam saluran atau sungai, atau kemiringan 8 lereng yang berkurang sedemikian rupa
sehingga kecepatan aliran air berubah. Semakin panjang lereng, maka jumlah
erosi total akan makin banyak".
Bentuk lereng juga mempunyai pengaruh
terhadap proses erosi yang di lapangan umumnya berbentuk cembung ataupun
berbentuk cekung. Berdasarkan pengamatan
menunjukkan bahwa erosi lembar lebih hebat terjadi pada lereng permukaan
cembung. Sedangkan pada lereng permukaan cekung lebih cenderung membentuk erosi
alur atau parit (Suripin, 2002).
Dampak erosi dapat dirasakan secara
langsung maupun secara tidak langsung, baik di tempat terjadinya erosi ataupun
di tempat lain dapat diuraikan pada tabel berikut:
Dampak
Erosi Tanah
Bentuk
Dampak
|
Dampak
Di Tempat Kejadian Erosi
|
Dampak
Di Luar Kejadian
|
Langsung
|
1.
Kehilangan
lapisan tanah yang baik bagi yang
berjangkarnya akar tanaman
|
1.
Pelumpuran
dan pendangkalan sungai, waduk,
dan saluran irigrasi serta badan lainnya
|
2. Kehilangan unsur hara dan kerusakan
struktur tanah
|
2.. Tertimbunnya lahan
pertanian jalan dan
bangunan lain
|
|
3. Peningkatan penggunaan energi/ input
untuk proses peroduksi pertanian
|
3.. Menghilangkan mata
air dan kualitas air
menurun
|
|
4. Kemerososan produktivitas tanah
|
4.. Kerusakan
ekosistem perairan
|
|
5. Pemiskinan Petani
|
||
Tidak
Langsung
|
1.
Berkurangnya
alternatif penggunaan tanah
|
1.
Kerugian
oleh
memendeknya umur
waduk
|
2. Timbulnya tekanan untuk membuka laban
baru
|
2.. Meningkatnya
frekuensi dan
besarya
banjir
|
|
3. Timbulnya keperluan akan perbaikan
lahan dan bangunan yang rusak
|
Sumber: Arsyad
(1989)
4. Klasifikasi
Lahan Kritis
Lahan kritis merupakan lahan yang tidak
produktif dengan kondisi yang tidak memungkinkan untuk dijadikan lahan
pertanian tanpa usaha atau input yang tinggi, yang dicirikan oleh proses
pengikisan yang sangat cepat, sehingga lapisan tanah semakin lama semakin tipis
serta lapisan lahan tersebut mengalami penurunan fungsi hidrologis, orologis,
produksi pertanian dan sosial ekonomi.
A. Klasifikasi
Tingkat Kekritisan Lahan
a. Lahan
Kritis
Lahan kritis adalah
lahan yang tidak produktif yang tidak memungkinkan untuk dijadikan lahan
pertanian tanpa merehabilitasi terlebih dahulu. Ciri lahan kritis diantaranya
adalah:
1)
Telah
terjadi erosi kuat, sebagian sampai pada gully erosion
2)
Lapisan
tanah tererosi habis
3)
Kemiringan
lereng lebih besar dari 30%
4)
Tutupan
lahan sangat kecil ( < 25 % ) bahkan gundul
5)
Tingkat
kesuburan tanah sangat rendah.
b. Lahan
Semi Kritis
Lahan semi kritis
adalah lahan yang kurang produktif dan masih digunakan untuk usaha tam dengan
produksi yang rendah. Ciri lahan semi kritis diantaranya :
1)
Telah
mengalami erosi permukaan sampai erosi alur
2)
Mempunyai
kedalaman efektif yang dangkal ( < 5 cm)
3)
Kemiringan
lereng > 10 %
4)
Persentase
penutupan lahan 50 - 75 % 5. Kesuburan tanah rendah\
c. Lahan
Potensial Kritis
Lahan potensial
kritis adalah lahan yang masih produktif
untuk pertanian tanaman pangan tetapi apabila pengolahannnya tidak
berdasarkan konservasi tanah yang baik, maka akan cenderung rusak dan menjadi
semi kritis/lahan kritis. Ciri
lahan potensial kritis adalah :
1)
Pada
lahan belum terjadi erosi, namun karena
keadaan topografi dan pengolahan yang kurang tepat maka erosi dapat
terjadi bila tidak dilakukan pencegahan. 10
2)
Tanah
mempunyai kedalaman efektif yang cukup dalam (>20 cm)
3)
Persentase
penutupan lahan masih tinggi ( > 70% )
4)
Kesuburan
tanah mulai dari rendah sampai tinggi
B. Lahan
Kritis Berdasarkan Faktor Penghambatnya
a. Lahan
Kritis Fisik
Tennasuk lahan kritis fisik dalam
kriteria lahan kritis merupakan kondisi lahm yang secara fisik mengalami
kerusakan, sehingga dalam mengusahakan tanah diperlukan investasi yang cukup
besar. Ciri-cirinya:
1)
Tanah
memiliki kedalaman efektif dangkal atau pada kedalaman tanah tenentu dijumpai
lapisan penghambat perhunbuhan tanaman, lapisan kerikil, lapisan batu, lapisan
cadas, lapisan batuan, akumulasi penghambat lainnya.
2)
Pada
bagian tertentu atau keseluruhan dapat terlihat adanya lapisan cadas
dipetmukaan.
3)
Adanya
batuan atau pasir atau abu yang melapisi tanah ataupun material lain sebagi
akibat letusan gunung, banjir bandang ataupun bencana alam lainnya.
b. Lahan
Kritis Kimiawi
Ciri menonjol dari lahan kristis kimia
adalah tanah bila ditinjau dari tingkat kesuburan, salinitas dan toksinitasnya
tidak lagi memberikan dukungan positif bila diusahakan seabagai tanah
pertanian. Ciri-ciri lahan kritis kimiawi:
1)
Tanah
menunjukkan penurunan
produktivitas atau memberikan produksi yang rendah.
2)
Adanya gejala-gejala keracunan pada tanaman sebagi akibat akumulasi racun dan
garam-garam dalam tanah.
3)
Adanya
gejala-gejala defesiensi unsur hara pada tanaman.
c. Lahan
Kritis social Ekonomi
Lahan kritis sosial ekonomi terjadi
pada tanah / lahan terlantar akibat adanya salah satu atau beberapa faktor
sosial ekonomi sabagai kendala dalam usaha-usaha pendayagunaan tanah tersebut.
Termasuk dalam pengertian lahan kritis sosial ekonomi adalah lahan tidur yang sebenarnya masih dapat
digunakan untuk usaha pertanian dan tingkat kesuburannya masih relatif ada.
Karena tingkat sosial ekonomi 11 penduduk rendah, maka lahan tersebut
ditinggalkan oleh penggarapnya dan akan tumbuh menjadi padang alang-alang,
semak belukar atau bentuk lain sehingga lahan tersebut terlantar.
d. Lahan
Kritis Hidrologis
Lahan kritis hidroorologis menunjukkan
keadaan sedemikian rupa dimana lahan tersebut tidak mampu lagi mempertahankan
fungsinya sebagi pengatur tata air. Hal ini disebabkan terganggunya daya
penahan, penghisap dan penyimpan air. Kritis hidroorologis dapat dilihat
dilapangan menurut banyak sedikitnya vegetasi yang tumbuh diatasnya (di
permukaan lahan). Sebagian besar jenis vegetasi tidak mampu lagi tumbuh dan
berkembang baik pada keadaan kritis hidroorologis ini. Kritis hidroorologis di
lapangan dapat juga dilihat sebagai lahan tanpa penutup, dengan vegetasi
penutup dalam jumlah yang sedikit, dan adanya keterbatasan jumlah jenis
vegetasi yang dapat tumbuh diatasnya.
Berdasarkan sebab dan lokasinya lahan
kritis atau tanah rusak digolongkan menjadi tiga bagian, yaitu:
· Tanah rusak golongan A, terdapat di
daerah-daerah berpenduduk padat dengan rata-rata lahan usaha tani relatif
sempit, keadaan ini memaksa para petani mencari tanah yang seharusnya tidak
boleh ditanami tanaman semusim. Letak tanah marjinal demikian umumnya berada di
tepi pantai atau lereng gunung. Tanah di pantai diperoleh dengan mengeringkan
rawa-rawa yang ada akibatnya kadar garam dalam tanah yang dijadikan sawah masih
terlalu tinggi, sehingga tidak bisa menghasilkan tanaman pangan. Untuk memperbaiki
tanah yang terlalu asin ini tidak ada jalan lain merendam kembali tanah
tersebut dengan air tawar, sehingga garamnya hanyut. Sedangkan tanah-tanah yang
berada di lereng gunung yang terjal, akan cepat mengalami pengikisan apabila
ditanami tanaman semusim. Tanah rusak yang terdapat diatas ketinggian 900 m
dpl, memperlihatkan tanda-tanda pengikisan yang bemt sekali, sehingga
mengakibatkan lapisan keras (padas)
yang ada dibawahnya nampak di permukaan. Memperbaiki tanah demikian
tiada jalan lain dengan sengkedan dan menanaminya dengan pohon-pohon yang dapat
melindungi tanah, yaitu pohon-pohon tahunan.
· Tanah rusak golongan B, terdapat di
daerah-daerah yang berpenduduk jarang.
Berada
pada ketinggian rata-rata 50 meter dari permukaan laut. Kesuburan tanah kurang,
sifat fisik tanah seperti: kedalaman efektifnya, tekstumya, latimnya bagus.
Jarang terjadi proses pengikisan secam serius. Tanah tersebut umumnya ditumbuhi
ilalang atau ilalang bercampur belukar. Sebenamya tanah ini dapat manghasilkan
lagi, asal dipenuhi kebutuhan pupuk dan perbaikan sistem penga'van
· Tanah rusak golongan C, terdapat di
daerah pertambangan. Tanah ini di
rusak dengan sengaja untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar dalam
jangka pendek dari kegiatan eksploitasi bahan tambang. Setelah beberapa tahun
bisa dimanfaatkan lagi, namun biasanya membutuhkan program rehabilitasi lahan
secara serius. Tidak kalah pentingnya adalah tanah rusak sebagai akibat
kebakaran hutan atau pembuatan arang kayu. Tanah-tanah tersebut umumnya
kehilangan nutrisi (hara) dan daya serap air sehingga sumber-sumber air dan
hara tanah menjadi mati dan akhirnya tanah menjadi tandus (Sandy, 1980).
5. Usaha
Usaha Penanggulangan Lahan Kritis
Supaya lahan kritis ini menjadi
produktif kembali khususnya bagi pengusahaan pertanian, maka diperlukan
upaya-upaya penanggulangan yang baik. Beberapa usaha mengendalikan lahan kritis
atau mengembalikan fungsi lahan pada keadaan semula di antaranya:
· Penghijauan dan Penghutanan Kembali
(Reboisasi)
Penghiajuan
adalah usaha pembentukan tanaman di atas tanah-tanah gundul dan kritis di luar
kawasan hutan, guna menahan air dan mencegah erosi. Penghijauan juga bisa
diartikan sebagai kegiatan
tanam-tanaman dalam kawasan di luar hutan baik tanah negara maupun tanah
petani dan sebagainya. Kegiatan ini bertujuan untuk membangun kembali atau
meperbaiki daya guna pemanfaatan sumber kekayaan tanah dan air di dalam maupun
di luar kawasan hutan. Apabila dilakukan dengan baik, usaha penghijauan dan
penghutanan kembali ini cukup efektif untuk mengurangi kerusakan pada tanah.
· Konservasi Tanah 13
Konservasi
mengandung pengertian adanya unsur pelestarian, pengawetan sesuatu yang masih
ada. Salah satu upaya konservasi adalah dengan melakukan pengolahan tanah yang
baik. Upaya penanggulangan lahan kritis merupakan satu kesatuan antara faktor
fisis dan faktor sosial. Pengolahan tanah yang akan merusak tanah, intensitas
kerusakan ini tergantung sistem pengolahan lahan, alat yang dipakai, dan
intensitas pengolahan tanah (Purwowidodo, 1982). Dalam hubungan dengan erosi,
maka pengolahan tanah akan merusak agregasi tanah akibat daya rusak mekanis
dari alat-alat pengolahan tanah atau karena terjadi penurunan kandungan bahan
organik tanah, yang besar peranannya dalam memelihara agregasi tanah. Penurunan
agregasi tanah ini, akan mempengaruhi produktivitas lahan.
Kita menyadari bahwa sulit untuk
mengendalikan dan menanggulangi kerusakan tanah yang pada akhirnya
menimbulkan lahan kritis. Apabila
tanah kritis ini diupayakan, bisa ditanggulangi dengan cara konservasi tanah.
(Purwowidodo, 1982). Prinsip konservasi yang dikemukakan di atas adalah
mengatur hubungan antara intensitas hujan, kapasitas infiltrasi tanah, dan
aliran permukaan tanah. Berdasarkan hal di atas maka ada tiga cara pendekatan
dalam menanggulangi tanah kritis, yaitu:
· Memperbaiki dan menjaga keadaan tanah
agar tahan terhadap penghancuran agregasi tanah dan pengangkutan serta
meningkatkan daya serap air di permukaan tanah.
· Menutup permukaan tanah, baik
dengan tumbuhan atau sisa tumbuhan
agar terlindung dari daya perusak butir hujan yang jatuh.
· Mengatur aliran permukaan sehingga
dapat mengalir dengan kekuatan yang tidak merusak (Purwowidodo, 1982).
DAFTAR
PUSTAKA
Arikunto,
Suharsimi, (1986), Prosedur
Penelitian Suatu Pendekatan Praktek
Jakarta: Bina
Aksara.
Arsyad,
Sitanala (1989), Konservasi Tanah dan Air. Bogor : IPB.
Bintaro,
et.al. (1982). Metode Analisa Geografi. Jakarta: LP3ES.
Data
Monografi. (2005). Kecamatan Cicalengka. Kabupaten Bandung. ,(2005). Kecamatan
Cimanggung Kabupaten Sumedang.
Hardjowigeno,
Sarwono. (L995). Ilmu Tanah. Jakarta: Akapres.
Jamulya
dan Sunarto. (1991). Evaluasi
Sumber Daya Lahan. Yogyakarta: Fakultas Geografi
Universitas Gajah Mada.
Kanwil
Kehutanan labar. (1986). Pola Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah
Daerah Aliran
Sungai Citarum. Bandung : Balai
Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah.
Munandar,
Sinis. (2000). Klasifikasi Kekritisan Lahan. Jakarta: Dirjen Tanaman Pangan dan
Hortikultura Departemen Pertanian.
(1995). Rehabilitasi Lahan
Sebagai Upaya
Konservasi Sumber Daya Air, Simposium Nasional Pengelolaan Sumber Daya Air.
Bandung: ITB
Nugraha,
E. (1985). Statistik Untuk Penelitian. Bandung : Permadi.
Partowidagdo,
Widjajono. (2004). Mengenal
Pembangunan dan Analisis Kebijakan.
Bandung: Program Studi Pembangunan
ITB.
PU
Sumedang. (2005). Data Meteorologi dan Klimatologi. Sumedang: Dinas Pengairan.
Rafi'i,
Suryatna. (1985). Ilmu Tanah.
Bandung : Angkasa.
Ruchijat.
(1980). Pengelolaan dan Pendayagunaan Sumber Daya Alam dan
Lingkungan
Hidup Bagi Kesejaheraan Manusia.
Jakarta : Bina Cipta.
Sarief,
Saefuddin. (1996a). Ilmu Tanah Pertanian. Bandung : Pustaka Buana. (1996b).
Konservasi Tanah dan Air. Bandung :
Pustaka Buana.
Sasmojo,
Saswinadi. (2001). Science,
Teknologi, Masyarakat dan Pembangunan.
Bandung: ITB.
Setiawan,
Ade. (1993). Penghijauan dengan
Tanaman Potensial. Jakarta : Penebar
Swadaya. 17
Sitorus,
R.P, (1998). Evaluasi Sumberdaya Lahan. Bandung : Tarsito.
Singarimbun,
M dan Efendi. S. (1989). Metode Penelitian Survey. Jakarta : LP3ES
Sumaatmadja,
N. (1988). Studi Geografi Suatu Pendekatan dan Analisis Keruangan.
Bandung : Alumni.
Sudiapermana,
Elih. (2003). Pengolahan dan Analisis Data. LEPPIM.
Suratman
Woro, Sudibyakto dan Sutiono (2003).
Penyusunan Rencana Induk (Grand
Design) Pengelolaan Lingkungan Hidup,
SWS Bengawan Solo, Loka Karya Nasional
Pengelolaan Wilayah Berbasis Ekosistem.
Yogyakarta, Fak. Geografi UGM.
Suripin.
(2001). Pelestarian Sumberdaya Tanah dan Air. Yogyakarta : Andi.
Sayogyo
dan Pudjiwati Sayogyo. (1982). Sosiologi
Pedesaan. Jilid II. Yogyakarta: Gadjah
Mada Press.
Soekartawi.
(2002). Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Soemarwoto,
O. (1985). Ekologi Lingkungan
Hidup dan Pembangunan. Jakarta:
Djambatan.
Tika,
Pabudu. (I99'T). Metode Penelitian Geografi. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar