Nama : Furqon
NIM : 105080400111032
Universitas
Brawijaya
PENGOLAHAN DAN PENGAWETAN BAHAN MAKANAN
DENGAN PROSES RADIASI
DENGAN PROSES RADIASI
Iptek nuklir
selama ini selalu dikaitkan untuk pembuatan bom atau energi pembangkit listrik.
Padahal, teknologi nuklir juga telah berkembang pesat dan kian merambah ke
berbagai sektor kehidupan. Pemanfaatan teknik nuklir bidang nonenergi, misalnya
aplikasi isotop dan radiasi, kini digunakan secara luas pada sektor pertanian.
Bicara masalah
kesejahteraan, maka teknologi isotop dan radiasi merupakan pilar dari iptek
nuklir ini. Kedua teknik tersebut dinilai telah mampu memecahkan persoalan yang
dihadapi dunia di bidang pangan, mulai dari pemakaian bahan pengawet, organik
polutan, formalin, mutasi bakteri, dan lain sebagainya.
Salah satu persoalan serius yang pernah dihadapi dunia
adalah munculnya sejumlah bakteri patogen, seperti Escherichia coli,
Salmonella, dan Ecoli, yang bisa menimbulkan keracunan. Tercatat, misalnya, di
Amerika Serikat, terjadi sebanyak 2,4 juta kasus keracunan akibat bakteri
Escherihia coli, 1,4 juta kasus akibat Salmonella spp, dan 73 ribu kasus
keracunan Ecoli. Tetapi, setelah teknik radiasi dan isotop diaplikasikan pada
bidang pangan, masalah itu dapat diatasi. Seperti diutarakan Deputi Bidang
Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya BPOM, Prof Dedi Fardiaz,
perlakuan iradiasi pada pangan, terbukti mampu menekan bakteri patogen.
"Radiasi dosis rendah (1 kiloGray-kGy), dapat membunuh paling
tidak 99,9 persen Salmonella pada daging ayam,". Radiasi yang sama juga
bisa menekan Escherichia coli dalam persentase lebih besar pada daging sapi
giling. Tak hanya itu, para ahli juga berhasil mengembangkan teknik tersebut
untuk memperlambat kebusukan pangan, tapi harus dengan pemberian dosis radiasi
yang sesuai.
Singkatnya, semakin kecil dan simpel suatu organisme, maka dosis
radiasi untuk menghancurkan organisme tersebut semakin tinggi. Virus sangat
resistan terhadap irradiasi dan sangat sedikit terpengaruh oleh dosis yang
biasa digunakan pada proses komersial. Spesies berbentuk spora (sepertiClostridium
botulinum dan Bacillus cereus) dan yang mampu membetulkan
DNA yang rusak dalam sekejap (seperti Deinococcus radiodurans) lebih resisten
daripada sel-sel vegetatif dan bakteria non-spora. Serangga dan parasit seperti
cacing pita dan trichinella membutuhkan dosis yang lebih
rendah.
Contoh radiasi pengion yang disebut terakhir ini paling
banyak digunakan (Sofyan, 1984; Winarnogdan gelombang
elektromagnetik b,aJenis iradiasi pangan yang dapat digunakan untuk pengawetan
bahan pangan adalah radiasi elektromagnetik yaitu radiasi yang menghasilkan
foton berenergi tinggi sehingga sanggup menyebabkan terjadinya ionisasi dan
eksitasi pada materi yang dilaluinya. Jenis iradiasi ini dinamakan
radiasi pengion, contoh radiasi pengion adalah radiasi partikel et
al., 1980).
Dua jenis radiasi pengion yang umum digunakan untuk pengawetan
makanan adalah : sinar gamma yang dipancarkan oleh radio nuklida 60Co
(kobalt-60) dan 137Cs (caesium-37) dan berkas elektron yang
terdiri dari partikel-pertikel bermuatan listrik. Kedua jenis radiasi
pengion ini memiliki pengaruh yang sama terhadap makanan.
Berdasarkan standar Codex 106-1983, REV.1-2003, setidaknya ada tiga
sumber radiasi ionisasi yang digunakan untuk pangan. Antara lain, sinar gamma
dari radionuklida, sinar X (X-rays), serta elektron. Masing-masing punya
takaran dosis radiasi yang berbeda. Namun, pada dasarnya, untuk pangan dosis
maksimumnya tidak boleh lebih dari 10 kGy, kecuali jika diperlukan untuk tujuan
tertentu. Riset di bidang ini sebenarnya telah dimulai sejak awal tahun 50-an,
terutama di Amerika Serikat. Tahap komersialnya baru dilakukan akhir tahun
1950. Pemanfaatannya untuk pengawetan pangan, baru diterapkan beberapa tahun
berikutnya.
Banyak manfaat bisa diperoleh dari aplikasi radiasi. Selain mampu
mengendalikan mikroba patogen, teknik tersebut juga berhasil mengurangi muatan
mikroba dan infestasi serangga, menghambat pertunasan, serta mencegah perkecambahan.
Dedi mengatakan, salah satu negara di dunia yang telah memetik manfaat maksimal
terkait penerapan iptek nuklir di bidang tanaman pangan adalah Brasil. Negara
Samba ini sudah mengembangkan sejak tahun 2003, terutama pada ekspor
buah-buahan untuk menghilangkan ulat buah. "Kini Brasil akan melangkah
lebih jauh lagi dengan membangun 21 fasilitas radiasi baru hingga tahun
2008," paparnya.
Keunggulan utama dari radiasi adalah:
- tidak ada atau sedikit sekali proses pemanasan pada makanan sehingga hampir tidak ada perubahan dalam sensor karakteristik makanan,
- dapat dilakukan pada makanan kemasan dan makanan beku,
- dapat dilakukan pada makanan segar melalui satu kali operasi dan tanpa menggunakan tambahan bahan kimia,
- hanya membutuhkan sedikit energi,
- perubahan pada aspek nutrisi dapat dibandingkan dengan metoda pengawetan makanan lainnya, dan
- proses otomatis terkontrol dan memiliki biaya operasi rendah.
Pada kesempatan sama, Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) Prof
Soedyartomo Soentono, mengungkapkan bahwa di Indonesia, radiasi serta isotop
telah diaplikasikan antara lain guna menghasilkan bibit unggul tanaman pangan,
yakni padi, gandum, kedelai, dan lain-lain. "Nah, untuk tanaman pangan,
pengembangannya dilakukan mulai dari hulu hingga ke hilir, yakni dari tahapan
bibit unggul sampai pascapanen," jelasnya. Dalam tahapan pascapanen,
radiasi tersebut ditujukan bagi pengawetan bahan pangan, baik untuk tujuan
ekspor ataupun yang berkaitan dengan kejadian bencana. "Kita bisa kirim
makanan siap santap yang bisa tahan hingga 1,5 tahun dan itu merupakan hasil
pengembangan teknik tadi," katanya.
Hanya saja, Soedyaromo tidak menampik bahwa sebagian masyarakat
masih merasa khawatir jika mengkonsumsi produk-produk olahan yang telah
mengalami proses radiasi, terlebih ini juga ada sangkut pautnya dengan
teknologi nuklir. Namun, dia menjamin bahwa dari segi keamanan sudah
diperhatikan. Karena, setiap iptek nuklir sebelum diseminasikan ke masyarakat,
harus memenuhi kriteria standar nasional maupun internasional, seperti dari
Badan POM, Deptan, Codex dari WHO, IAEA, Technical Document, atau Technical
Report Series dari berbagai organisasi internasional lainnya. "Jadi setiap
produk itu sudah ada data ilmiahnya dan telah diuji secara laboratorium, klinis
hingga mendapat sertifikasi. Intinya, faktor keamanan ini sangat kita
tekankan," imbuhnya.
Menurutnya, radiasi yang dilakukan pada tanaman pangan, lebih
ditujukan untuk menyetop sifat-sifat buruknya, dan sebaliknya, meningkatkan sifat-sifat
baiknya. Ini jelas berbeda dengan metode rekayasa genetik, di mana terjadi
mutasi gen antarspesies. "Radiasi ini tidak membawa pengaruh apa pun dari
luar, melainkan berupaya mengembangkan sifat-sifat tertentu dari spesies itu
sendiri," ujarnya. Selain pada sektor pangan, tandas Soedyartomo, hal yang
sama juga dilakukan pada bidang kesehatan dan pengobatan. Dengan isotop
radioaktif, dapat dilakukan deteksi fungsi obat dalam tubuh manusia, ataupun
obat itu terbentuk dalam proses, baik kimia maupun alamiah lewat tanaman.
Ke depan, Batam juga sedang mengembangkan teknik tersebut bagi
pemanfaatan biofuel, yakni dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas tanaman
jarak pagar (Jatropha curcas). Dengan keunggulan yang dimiliki, teknologi
nuklir diharapkan dapat memberikan manfaat lebih terutama bagi peningkatan
kualitas produk, hemat energi, dan berwawasan lingkungan.
Pengawetan makanan memiliki berbagai keunggulan dan kemudahan dalam
prosesnya. Namun demikian, pengawetan makanan dengan cara radiasi juga memiliki
kelemahan. Masalah utama dalam proses ini adalah:
- proses dapat digunakan untuk mengeliminasi bakteri dalam jumlah besar sehingga dapat membuat makanan yang tidak layak makan menjadi layak jual,
- jika mikro-organisme pembusuk dimusnahkan tetapi bakteria patogen tidak, konsumen tidak bisa melihat indikasinya dari bentuk makanan,
- makanan akan berbahaya bagi kesehatan jika bakteri penghasil racun dimusnahkan setelah bakteri tersebut mengkontaminasi makanan,
- kemungkinan perkembangan resistensi mikroorganisme terhadap radiasi,
- hilangnya nilai nutrisi makanan,
- sampai sekarang, prosedur analitik dalam mendeteksi apakah makanan telah diirradiasi belum mencukupi, dan
- resistensi publik disebabkan oleh kekhawatiran akan pengaruh radioaktif atau alasan lain yang berhubungan dengan kekhawatiran terhadap industri nuklir.
Keamanan pangan iradiasi
merupakan faktor terpenting yang harus diselidiki sebelum menganjurkan
penggunaan proses iradiasi secara luas. Hal yang membahayakan bagi
konsumen bila molekul tertentu terdapat dalam jumlah banyak pada bahan pangan,
berubah menjadi senyawa yang toksik, mutagenik, ataupun karsinogenik sebagai
akibat dari proses iradiasi.
Tabel 5. Penerapan dosis dalam berbagai penerapan
radiasi pangan
Tujuan
|
Dosis (kGy)
|
Produk
|
Dosis rendah (s/d 1 KGy)
Pencegahan pertunasan
Pembasmian serangga dan parasit
Perlambatan proses fisiologis
|
0,05 – 0,15
0,15 – 0,50
0,50 – 1,00
|
Kentang, bawang putih, bawang bombay, jahe,
Serealia, kacang-kacangan, buah segar dan kering, ikan,
daging kering
Buah dan sayur segar
|
Dosis sedang (1- 10 kGy)
Perpanjangan masa simpan
Pembasmian mikroorganisme perusak dan patogen
Perbaikan sifat teknologi pangan
|
1,00 – 3,00
1,00 – 7,00
2,00 – 7,00
|
Ikan, arbei segar
Hasil laut segar dan beku, daging unggas segar/beku
Anggur(meningkatkan sari), sayuran kering (mengurangi
waktu pemasakan)
|
Dosis tinggi1 (10 – 50 kGy)
Pensterilan industri
Pensterilan bahan tambahan makanan tertentu dan komponennya
|
10 – 50
|
Daging, daging unggas, hasil laut, makanan siap hidang,
makanan steril
|
1 Hanya
digunakan untuk tujuan khusus. Komisi Codex Alimentarius Gabungan FAO/WHO
belum menyetujui penggunaan dosis ini
Hasil penelitian mengenai efek kimia radiasi pada berbagai macam
bahan pangan hasil radiasi (1 – 5 kGy) belum pernah ditemukan adanya senyawa
yang toksik. Pengawetan makanan dengan menggunakan iradiasi sudah
terjamin keamanannya jika tidak melebihi dosis yang sudah ditetapkan,
sebagaimana yang telah direkomendasikan oleh FAO-WHO-IAEA pada bulan november
1980. Rekomendasi tersebut menyatakan bahwa semua bahan yang diradiasi
tidak melebihi dosis 10 kGy aman untuk dikonsumsi manusia.
Untuk memastikan terdapatnya
tingkat keamanan yang diperlukan, pemerintah perlu mengundangkan peraturan,
baik mengenai pangan yang diiradiasi maupun sarana radiasi. Peraturan
tentang radiasi pangan yang sampai sekarang digunakan antara lain adalah
Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 826 Tahun 1987 dan No. 152 Tahun 1995.
Peraturan tersebut selanjutnya digunakan sebagai bahan acuan dalam penyusunan
Undang-undang Pangan No. 7 Tahun 1996.
Thank's atas infonya ^^
BalasHapusOke oke, silahkan baca2 yang lainya juga ya..
BalasHapus